Komunitas Dasun Heritage Society adalah komunitas yang bergerak dalam bidang pelestarian pusaka di Desa Dasun Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Komunitas ini memiliki tekad untuk mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan pusaka atau heritage di Desa Dasun.
Brithday | 09-12-2016 |
---|---|
Call | +62 895-4124-99678 |
pusakabaharidasun@gmail.com | |
Website | https://pusakadasun.blogspot.com/ |
Komunitas Dasun Heritage Society adalah komunitas yang bergerak dalam bidang pelestarian pusaka di Desa Dasun Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang.
Komunitas ini memiliki tekad untuk mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan pusaka atau heritage di Desa Dasun.
Membukukan kekayaan pusaka Desa Dasun dengan cara melakukan penelitian yang komprehensif, partisipatif, dan mendalam
Membuat produk digital dari hasil penelitian pusaka dalam bentuk fotografi dan videografi yang dishare di website dan media sosial
Melakkan followup hasil kajian pusaka desa Dasun dalam bentuk menyusun daya pancar untuk pemajuan pusaka desa Dasun
Mengumpulkan, merawat, dan melestarikan data pusaka desa Dasun dalam bentuk Bank Data Pusaka Desa Dasun
Bersinergi dan bekerjasama dengan komunitas dan lembaga terkait dalam memanfaatkan Pusaka Desa Dasun untuk pemajuan Desa Dasun
Menyelenggarakan event pusaka desa Dasun yang bertujuan meningkatkan nilai tawar pusaka desa Dasun
Dasun Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya adalah buku dasun pertama yang berhasil diterbitkan. Exsan Ali Setyonugroho adalah penulis sekaligus Ketua Program penyusunan buku pertama. Cetakan pertama buku ini diterbitkan Lintas Nalar Yogyakarta, nomor ISBN 978-623-7212-62-1, dengan editor Dwi Cipta.
Buku kali kedua yang telah diterbitkan adalah Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun dengan penulis Angga Hermansah. Cetakan pertama buku ini diterbitkan CV Lintas Nalar Yogyakarta, nomor ISBN 978-623-5517-17-9, dengan editor yang sama yaitu Dwi Cipta.
Buku ketiga yang akan diproduksi adalah tentang Rempah Desa Dasun. Buku ini rencana yang disusun oleh Achmad Sholeh Syarifudin. Penelitian awal telah dimulai sejak awal tahun 2022 ini. Buku ini direncakan segera terbit untuk melengkapi data pusaka desa Dasun.
Buku kali keempat yang telah diterbitkan adalah Sungutan Tambak Dasun dengan penulis Angga Hermansah. Cetakan pertama buku ini masih dalam proses diterbitkan CV Lintas Nalar Yogyakarta, nomor ISBN dalam proses, dengan editor yang sama yaitu Dwi Cipta.
Buku kali kelima yang telah diterbitkan adalah Sungai Lasem dengan penulis Angga Hermansah. Cetakan pertama buku ini masih dalam proses diterbitkan CV Lintas Nalar Yogyakarta, nomor ISBN dalam proses, dengan editor yang sama yaitu Dwi Cipta.
DHS itu dibentuk tahun 2016 dengan harapan sebagai wadah kebersamaan kawula muda Dasun untuk menggagas kemajuan desa. Prestasi membanggakan dari pergerakan DHS yaitu Dasun menjadi JUuara Nadional Perpus Seru Award tahun 2018 dan Juara Umum Pokdarwis Provinsi Jateng tahun 2018 pula. Dua capaian itu yang sangat membanggakan. Dan sampaikan sekarang DHS masih memberikan pengabdiannya menuju Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun.
Sejak awal berdirinya Dasun Heritage Society (DHS), Desa Dasun memiliki beragam kegiatan kreatif dalam melestarikan potensi alam dan budayanya. Mulai dari pendataan potensi, pembuatan film dokumenter, peningkatan literasi melalui perpustakaan, dukungan kegiatan kebudayaan, sampai penyusunan buku. Dasun Heritage Society (DHS) selalu menjadi yang terdepan mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan warisan Desa Dasun.
Komunitas Dasun Heritahe society merupakan ruang aktivitas bagi masyarakat Desa Dasun dalam mengekspresikan setiap kegiatan kebudayaan yang mampu memberikan kebermanfaatan bagi banyak orang. Komunitas ini dibentuk sebagai langkah stategis guna merangkul berbagai elemen masyarakat untuk menyatukan fikiran dan tujuan untuk kemajuan bersama.
Kekompakan DHS dalam memperkenalkan kembali kebudayaa Desa Dasun juga tidak main-main, dalam program pemajuan kebudayaan desa dari KEMENDIGBUDRISTEK , DHS membuat miniatur kebudayaan yang mana bisa dikenalkan langsung kepada anak-anak Desa Dasun dan dipamerkan setiap ada kegiatan desa. Berkat adanya Festival Bandeng mrico yang dijalankan oleh DHS, daya warga dan warga Desa Dasun di pantai Dasun bukan hanya sekedar mendatangkan wisatawan untuk datang ke pantai tetapi adanya festival bandeng mrico ini membuktikan bahwa Desa Dasun bukan hanya akan kaya dengan sejarah tetapi juga kaya dengan budayanya yang memamng patut di pertahankan.
Salah satu pengetahuan tradisional yang sering dijumpai di berbagai daerah dan desa yaitu tentang perhitungan musim atau mangsa. Perhitungan musim seringkali menjadi pokok bahasan masyarakat desa, seperti masyarakat nelayan dan petani tambak di Desa Dasun yang sangat bergantung dengan musim dan cuaca. Kelompok nelayan perlu menghitung musim untuk menentukan waktu dan alat tangkap yang digunakan untuk pergi melaut. Dan juga para petani tambak yang memerlukan perhitungan musim untuk menentukan kapan memulai produksi garam atau mulai budidaya ikan bandeng. Pengetahuan tradisional yang berhubungan dengan kendali air inilah kemudian Penulis sebut dengan istilah pranoto banyu.
Pranoto banyu merupakan pengetahuan dalam memahami dan menguasai pergantian dan penghitungan musim, perubahan pergerakan air sungai dan laut, tata cara pengelolaan tambak bandeng dan garam, serta tanda alam yang mempengaruhi musim tangkapan nelayan. Pengetahuan tersebut bagi masyarakat Dasun amat penting dalam menyiapkan segala sesuatu hal, baik tata cara, sikap dan perubahan yang akan terjadi pada alam. Hal ini menjadikan pranoto banyu sebagai praktik kebudayaan masyarakat Dasun dan bagian dari memori kolektif yang tersimpan di dalam pikiran dan perilaku manusianya.
Hadirnya buku ini merupakan upaya untuk merekam memori kolektif dan praktik kebudayaan yang melekat dalam masyarakat Dasun yang kaya akan pengetahuan maritim. Terdapat tujuh bab dalam mengungkap memori kolektif pranata banyu masyarakat Dasun. Bab pertama dan bab ketujuh merupakan cerita Penulis saat melakukan penelitian memori kolektif kolektif pranata banyu sekaligus gagasan keberlanjutan Penulis dalam merespon momori kolektif tersebut. Selebihnya buku ini disajikan lima bab untuk para Penutur memori kolektif dengan pranata banyu di Desa Dasun tepatnya mulai bab dua hingga bab enam. Lima bab tersebut disajikan penuturan Informan tentang pranata banyu tambak garam oleh Bapak Sutrisno, pranata banyu tambak bandeng oleh Mbah Sidiq, pranata banyu segoro lor yang dituturkan oleh Mbah Yono atau Mbah Yono, pranata banyu segoro tambak yang dituturkan oleh Pak Dhe Nanto, dan pranata banyu Kali Dasun yang dituturkan oleh Pak Dhe Tono.
Dalam menyajikan memori kolektif pranata banyu masyarakat desa Dasun, buku ini disuguhkan dalam bentuk teks percakapan antara penulis dan informan. Percakapan memori kolektif ini di transkrip tanpa adanya penambahan dan pengurangan. Dengan penyajian tersebut, diharapkan para Pembaca buku ini seolah-olah merasakan penuturan langsung di depan Informan. Dengan suguhan teks percakapan secara langsung juga, para Pembaca dapat secara merdeka dalam menginterpretasi tentang pranata banyu yang dimiliki masyarakat Dasun. Adapun informan dipilih sesuai dengan rekomendasi masyarakat serta pengamatan dari Penulis langsung tentang aktor-aktor dalam praktik kebudayaan pranata banyu.
Pada hakikatnya, pembuatan buku ingin mengembalikan kepopuleran pengetahuan tradisional dalam bidang kemaritiman yang semakin lama semakin memudar. Padahal jika kita tarik ke belakang pada zaman kerajaan Majapahit, letak kekuatan bangsa kita berada pada praktik kemaritiman yang fasih dan tangguh dengan didasari pengetahuan tradisional yang kuat dan mengakar. Untuk mengembalikan kekuatan dan kesohoran kemaritiman itu bisa dimulai dari dan dengan hal kecil, kita sebagai penerus, mau berinteraksi, mendengar, bertanya, menanyakan ulang hasil penafsiran, menyebarluaskan, hingga mengajak generasi muda untuk melakukan pendataan memori kolektif yang dimiliki kelompok sosial khususnya tentang pranata banyu yang dimiliki masyarakat nelayan dan kelompok adat kemaritiman. , mampu menerjemahkan dan lebih baik lagi jika mampu mempraktekkan kembali dan meneruskan ke generasi selanjutnya.
Penulis ucapkan terimakasih dan salam hormat kepada para Informan yang telah menyampaikan memori kolektifnya tentang pranata banyu. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Pemerintah Desa Dasun yang selalu mensupport dalam proses pembuatan buku ini. Dan tak lupa juga, Penulis ucapkan terimakasih kepada keluarga dan teman-teman seperjuangan yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat agar tetap terus berada di jalan pelestarian dan pemajuan kebudayaan agar nilai-nilai kebudayaan tetap terus diwariskan ke generasi selanjutnya.
Salam Lestari,,
Yogyakarta, 07 Maret 2024
Penganugerahan predikat rekor dunia tersebut ditandai dengan penyerahan sertifikat oleh J. Ngandri, Direktur Pelaksana Museum Rekor Dunia Indonesia di Jakarta.
"Hari ini Museum Rekor Dunia-Indonesia dengan bangga memberikan penghargaan Rekor Dunia Lukisan Garam Terbesar. Sebuah Kolaborasi Petani Garam di Desa Dasun Lasem bersama Bapak Eggy Yunaedi yang mempunyai kreatifitas membuat lukisan dengan garam yang berukuran 34 x 21 meter di Ladang Garam Dasun, Lasem. yang merupakan sebuah karya yang spektakuler. Oleh karena itu MURI mencatatkan sebagai Rekor Dunia sebagai lukisan garam terbesar," tutur J. Ngandri dari Museum Rekor Indonesia (MURI).
Hadir menerima sertifikat tersebut Eggy Yunaedi, perupa sekaligus pemrakarsa Bancaan Rupa, bersama Mulyono, Achirudin Bayu dan Angga Hermansah mewakili sepuluh petani garam Dasun yang telah berkolaborasi melukis Bancaan Rupa, didampingi Sujarwo Kepala Desa Dasun dan Exsan Ali Setyonugroho Carik Desa Dasun.
Carik Dasun, Exsan Ali Setyonugroho mengungkapkan penghargaan MURI ini merupakan momentum bagi para pemulia garam Dasun untuk terus melestarikan garam dan hidup sejahtera. Dan penghargaan bagi seluruh masyarakat dasun yang selama ratusan tahun hidup dengan hasil tambak dan garam.
“Ini adalah momentum bagi para pemulia garam Dasun untuk terus melestarikan garam dan hidup sejahtera”, ungkap Exsan.
Ia juga meminta pemerintah terus memperhatikan kesejahteraan pemulia garam dengan ikut menstabilkan harga garam yang tinggi, memberikan program pemberdayaan bagi petani garam dan memastikan kualitas air sungai yang sangat berpengaruh pada kualitas garam.
Bancaan Rupa
Bancaan Rupa adalah karya seni rupa menggunakan garam dan tambak sebagai material dan media. Lukisan garam berukuran 21 x 34 meter ini merupakan kolaborasi antara Eggy Yunaedi dengan sepuluh petani garam Desa Dasun, Lasem.
Lukisan yang akhirnya tercatat sebagai lukisan garam terbesar di dunia ini menghabiskan 4 ton garam dan dikerjakan selama 3 hari pada tanggal 16 sampai dengan 18 November 2023 lalu. Bancaan Rupa merupakan perhelatan seni yang sepenuhnya didukung oleh masyarakat dan diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Dasun, Lasem.
Inspirasi Karya dari Dua Buku Dasun
Eggy terinspirasi membuat Bancaan Rupa sebagai karya kolaborasi bersama petani garam di Desa Dasun setelah mengetahui keberadaan situs Tambak Gede dan mempelajari pengetahuan lokal dan praktek tradisi warga Dasun perihal budidaya tambak, tradisi bancaan dan pemuliaan punden dari dua buku yang ditulis oleh warga Dasun sendiri. Yakni buku Dasun: Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya ditulis Exsan Ali Setyonugroho dan buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun yang ditulis oleh Angga Hermansah.
Tambak Gede tempat berlangsungnya Bancaan Rupa ditengarai sebagai situs tambak garam tertua di pantura Jawa setelah monopoli garam oleh Hindia Belanda.
Dari kaca mata seni rupa modern karya seperti Bancaan Rupa lazim disebut sebagai environmental art, yaitu seni rupa yang menggunakan bentangan dan elemen alam sebagai media.
Oleh petani dan warga desa Dasun, karya ini dimaknai sebagai ungkapan syukur atas hasil garam pada tahun ini, sekaligus doa agar garam tetap memberi penghidupan yang baik pada mereka di tahun-tahun mendatang. Karena dimaknai sebagai bancaan, lukisan di atas tambak tersebut bisa dilihat sebagai ambengan untuk dibagikan dan dinikmati khalayak. Di dalam ambengan tersebut terdapat tujuh uborampe, berupa visualisasi empat elemen alam serta tiga elemen budaya yang mempengaruhi kehidupan petani garam di Desa Dasun. Empat elemen alam itu adalah matahari, bumi, air dan angin, adapun tiga elemen budaya yaitu jawa, budaya cina dan budaya keislaman yang divisualkan dalam bentuk gunungan; burung hong dan naga serta kubah masjid.
J. Ngandri mengatakan bahwa Museum Rekor Dunia-Indonesia memberikan penghargaan karena Bancaan Rupa merupakan karya yang spektakuper yang diharap bisa menginspirasi banyak orang untuk menghasilkan karya-karya besar.
Pada kesempatan tersebut Eggy Yunaedi, perupa yang memprakarsai Bancaan Rupa, mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas apresiasi yang diberikan oleh Museum Rekor Dunia-Indonesia dan berharap agar apresiasi ini mendorong gerakan pemajuan kebudayaan Desa Dasun sekaligus menguatkan keberadaan Tambak Gede sebagai cagar budaya. Tak lupa perupa kelahiran Rembang ini menyampaikan terima kasih kepada para petani garam yang telah berkolaborasi bersamanya mewujudkan karya tersebut. Mereka adalah: Supadi, Suparlin, Sriyono, Mulyono, Arif Yulianto, Suroso, Bisri, Mariadi, Suyoto dan Alip; juga Imam Bucah dan Sofyan Kancil. Dua yang terakhir disebut adalah pelukis yang bertindak sebagai asisten dalam proses pembuatan karya.
Mulyono, petani garam yang hadir dalam acara penyerahan sertikat Museum Rekor Dunia-Indonesia tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya. Mewakili 9 petani yang lain Mulyono menyampaikan harapapannya agar penghargaan ini bisa menarik perhatian pemerintah lebih memperhatikan petani garam utamanya dalam menjaga stabilitas harga garam dan mendukung petani-pemulia garam dengan program-program pemberdayaan.
Sementara itu Sujarwo selaku Kepala Desa Dasun yang telah mendukung dan memfasilitasi perhelatan Bancaan Rupa menyatakan bahwa Rekor Dunia Muri ini merupakan salah satu upaya Desa Dasun untuk memberi makna atas predikat Rembang sebagai kota garam. (lasem.id/exsan)
Keterangan: Artikel ini tayang pertamakali di https://www.dasun-rembang.desa.id/
Sejak keinginan membuat environental art di tambak itu muncul, saya jadi lebih sering mengalami perjumpaan dengan garam, entah secara fisik maupun berupa wacana melalui bacaan dan diskusi dengan orang-orang yang bersentuhan dengan garam. Garam adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Garam merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tubuh. Garam memiliki sejarah yang panjang seumur peradaban manusia. Garam adalah produk budaya yang memiliki keterhubungan dengan produk budaya lain dalam membentuk peradaban. Rembang yang memiliki predikat sebagai Kota Garam justru tidak memiliki narasi terkait dengan garam. Catatan beratarik 1832 menunjukkan bahwa garam adalah salah satu komoditi ekspor penting dari Rembang. Ada pula Tambak Gede di desa Dasun Lasem yang ditengarai sebagai situs tambak garam tertua di daerah Rembang, bahkan mungkin di daerah pantura.
Tambak Gede di Dasun merupakan bengkok yang menjadi hak lurah atau kepala desa yang sedang memimpin. Tambak ini menyimpan sejarah yang panjang yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Dasun itu sendiri. Di dalamnya ada orang-orang yang tidak hanya menggantungkan hidupnya dari garam tapi juga mendapatkan identitasnya dari desanya yang dikepung oleh tambak garam. Mereka memuliakan dan mewarisi pengetahuan yang menubuh dalam budidaya garam. Ada punden, ada tradisi dan ritus yang hidup, ada kisah yang masih dituturkan di sekitar tambak di Dasun yang turut membangun konsepsi atas ruang hidup warganya.
Sampai di titik ini tiba-tiba saya melihat keinginan untuk membuat environmental art di atas tambak merupakan sikap yang angkuh, semena-mena, lahir dari kepicikan yang banal. Tambak bukanlah ruang kosong, sementara putihnya kristal garam tidak berarti dia steril dari anasir sekitarnya. Tambak bukan hanya entitas fisik dan alat produksi pun garam bukan sekedar komoditas. Tambak adalah ruang kultural yang memiliki pundi-pundi simbolik berlimpah, menyediakan palet warna warni untuk sebuah lukisan yang bermakna bagi warga, ketimbang bahan apapun dari luaran sana. Pun seandainya saya mencoba berempati dengan melukiskan perihal teralineasinya petani garam dalam sistem ekonomi yang kapitalistik, apa yang saya lakukan bisa jadi tak lebih dari menuang lapisan tipis minyak di atas air. Tambak garam tidak membutuhkan orang lain untuk membuat kisahnya sendiri.
Saya kehilangan keinginan mewujudkan karya saya sendiri, kacuali itu dilakukan dengan kolaborasi bersama petani dan warga setempat. Saya berkeyakinan bahwa petani garam dan warga setempat adalah pihak pertama yang punya daulat untuk berkisah lewat tambak dan garam mereka. Mereka pula yang harus memberi makna atas kegiatan yang dilakukan. Tapi apa makna sebuah environmental art bagi petani garam? Jangan-jangan ini cuma kegenitan yang tak ada juntrungan buat mereka.
Angin mungkin lebih terlihat nyata bagi petani garam ketimbang apa itu environmental art. Namun gagasan memang suka srawung dan pada akhirnya akan menemukan jalannya sendiri. Pada sebuah diskusi beraroma kopi dan asap tembakau saya dan warga Desa Dasun menemukan motif yang sama antara praktek berkesenian dengan tradisi bancakan. Sebagai sebuah media demi terhubungnya gagasan seorang individu dengan khalayak, praktek kesenian tak ubahnya sebagai sebuah bancakan. Sejatinya bancakan adalah manifestasi doa dan ungkapan rasa syukur dengan cara berbagi secara kolektif. Bancakan adalah momen perjumpaan warga desa dengan cara berbagi, mengambil peran yang dengan demikian memantabkan posisi seseorang sebagai bagian dari semesta yang lebih luas. Manunggaling jagad gede karo jagad cilik, bersatunya microcosmos dengan macrocosmos. Begitulah petani garam dan warga dasun memaknai kegiatan ini. Kami berjabat sepakat memberi tajuk Bancaan Visual, yang kemudian berubah menjadi Bancaan Rupa.
Sebagaimana jamaknya bancaan, warga berbagi ambengan berujud hidangan makanan dengan berbagai lauk. Dalam Bancaan Rupa kali ini petani garam dan warga desa Dasun berbagi ambengan dalam bentuk sajian rupa yang bisa dinikmati khalayak. Di dalam ambengan rupa tersebut disajikan tujuh ubo rampe berupa visualisasi bumi, matahari, air dan angin serta gunungan, naga dan burung hong serta ornamen islami. Tujuh elemen yang terdiri dari empat elemen alam dan tiga elemen budaya itu juga diwujudkan dalam tujuh kerucut garam melambangkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas alam dan budaya yang memberi penghidupan kepada petani garam maupun masyarakat Dasun. Semoga di musim mendatang garam memberi penghidupan yang makin baik kepada petani dan warga desa Dasun. Kabul kajate. Amin.
*)PROFIL EGGY YUNAEDI
Eggy Yunaedi adalah perupa kelahiran Rembang, tinggal di Bekasi. Menyelesaikan pendidikan di Ilmu Komunikasi UGM, dua puluh tahun lebih Eggy bekerja di dunia kreatif sebagai creative director di beberapa agensi multinasional, dan memenangkan puluhan penghargaan nasional maupun internasional, seperti di ajang Citra Pariwara, Asia Pacific Advertising Festival, Spike Asia Award dll. Eggy kini lebih banyak bekerja sebagai perupa dan pegiat kebudayaan. Pada saat ini Eggy menjadi Panel Ahli Platform Kebudayaan Indonesiana, Ditjenbud Kemendikbudristek RI.
Selain kerap melakukan aksi speed painting, Eggy juga sering melakukan aksi seni rupa di ruang publik dalam skala besar , di antaranya adalah “Melangitkan Doa” yang turut memeriahkan Harlah 1 Abad NU di Sidoarjo beberapa waktu yang lalu. Karya tersebut dicatat oleh Museum Rekor Muri sebagai display doa terbanyak dan terbesar di dunia. Karya Eggy dalam skala raksasa yang lain adalah lukisan berjudul “Suluh Samin” yang dibuat dari 2000 obor pada peringatan 1 abad perjuangan Samin Surosentiko.
tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB
foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto
Seni sesungguhnya kerdil di hadapan alam. Seni adalah ciptaan manusia, sementara alam adalah ciptaan Sang Maha Pencipta. Manusia pun mencipta seni dengan belajar pada alam, artinya belajar pada Sang Pencipta. Datanglah masa modern, yang membuat manusia merasa perlu menujukan segala sesuatu pada dirinya, maka seni pun dibikin seolah “otonom” terpisah dari alam.
Keyakinan akan seni yang “otonom” tampak dari konvensi ruang seni. Baik gedung pertunjukan maupun galeri seni rupa dirancang agar seni dapat tampil dalam wajah terbaiknya. Unsur-unsur alam dihambat, sinar matahari atau suara-suara alami tak dibiarkan “bocor”. Ruang seni harus steril. Manusia tidak dapat mengendalikan sinar matahari ataupun suara alami; sementara di ruang seni, unsur cahaya, suara, perwujudan, semuanya harus dalam kendali manusia.
Dalam wilayah seni rupa, galeri berwujud kubus putih. Di bidang seni pertunjukan, ada panggung proscenium. Keduanya sama: pertama, membuat penonton dan apa yang ditonton berjarak. Kedua, karya seni diandaikan hadir sepenuhnya dalam wajah terbaiknya. Inilah konvensi ruang seni.
Pada perjalanannya kemudian, muncul gerakan seni yang menentang kekakuan ruang-ruang tersebut. Seni lingkungan (environmental art) adalah salah satunya. Karya seni kadang begitu besar hingga tak dapat ditampung dalam galeri. Tapi prinsip dasarnya adalah, seni dikembalikan pada alam.
Kita pun patut ingat, di luar ranah seni modern, seni pertunjukan terbiasa dengan ruang yang tak-memisahkan-antara-penonton-dan-yang-ditonton. Pada ruang-ruang terbuka, peristiwa seni adalah juga keseharian.
Risikonya, seni di tengah alam, tentu harus berhitung dengan sangat banyak hal di luar kendali manusia.
* * *
Ada satu istilah keilmuan yang kerap dikaitkan dengan seni, yakni estetika. Estetika, sebagian mengartikannya sebagai “ilmu tentang keindahan”; sebagian lagi mengartikannya “filsafat seni”. Dalam kedua pengertian ini, estetika hampir selalu dikaitkan dengan seni. Ada pengertian lain yang lebih mendasar, estetika adalah hal-ihwal pencerapan. Dalam pengertian ini, estetika tidak melulu perkara seni; tapi akan mudah mengaitkannya dengan alam.
Saat manusia berada di hadapan (atau di tengah) kebesaran alam, bisa dipastikan manusia itu dibuat terkesan; mungkin kagum, mungkin terharu, atau merasa kerdil, bahkan merasa terancam. Karena demikianlah alam: ia begitu agung, penuh kekuatan, mengayomi sekaligus mengancam. Letusan gunung berapi memusnahkan sekaligus menjadi basis kehidupan bagi banyak makhluk. Di alam, kekuatan penghancur adalah sekaligus daya yang merawat, menghidupi.
Cara terbaik bagi seni adalah selalu belajar pada alam, dalam pengertian, seni selalu membutuhkan cara untuk menggugah, untuk memantik kesan yang mendalam. Karya seni yang baik adalah karya seni yang terus-menerus ditafsirkan, artinya karya seni harus menarik perhatian para penafsir yang produktif. Proses ini hanya bisa dimulai jika pemirsanya tergugah. Tentu saja ada sejumlah faktor lain yang berpengaruh, termasuk perputaran modal dan aspek politik; tapi untuk diskusi kita kali ini, lebih mudah jika kita fokus pada aspek yang membuat sebuah karya seni menggugah.
Konvensi ruang seni dirancang sedemikian rupa agar mengoptimalkan daya gugah itu. Dan ternyata strategi mendasar dari rancangan ini adalah dengan membuat segala sesuatunya bisa dikendalikan oleh manusia. Ada sebagian di antara kita yang memiliki keterampilan menata cahaya. Ia sedemikian terampil mengolah pencahayaan dalam sebuah ruang. Pada kesempatan ini, hal yang hendak digaris-bawahi adalah, keterampilan semacam itu mensyaratkan batas-batas ruang yang mudah dikenali. Batas itu adalah platform (pijakan) di mana karya seni hadir, melenggang-menampilkan-dirinya.
Di tengah keluasan alam, batas itu tak ada. Di tengah alam, manusia kerdil.
Jika sekelompok orang memutuskan membuat karya seni di ruang terbuka, maka mereka sesungguhnya tengah menyongsong sejumlah risiko. Dilihat dari kacamata seni modern, risiko-risiko ini sungguh tak masuk akal. Tapi jika kita hendak menggeser sudut pandang, barangkali masih ada wilayah-wilayah “tradisi” atau paling tidak kekerabatan komunal yang memungkinkan risiko-risiko itu dikelola. Dugaannya, pada gaya hidup yang masih mampu mempertahankan watak tradisionalnya, risiko hidup di tengah alam diposisikan sebagai keniscayaan belaka. Sementara seni, kadung selalu berangkat dari konteks tertentu. Maka, cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan berupaya sebijak mungkin memahami konteks di latar belakang tersebut.
Apakah di masa kini seni masih punya daya untuk menggugah? Saya menuliskan ini dengan mempertaruhkan kepercayaan: Ya, seni masih mampu menggugah. Bagaimana caranya? Inilah yang dapat menjadi bahan diskusi kita.
Bandung, 15 November 2023
*)PROFIL HERU HIKAYAT
Heru Hikayat adalah alumnus FSRD ITB, bekerja sebagai kurator seni rupa dan aktif dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan budaya, juga menulis ulasan seni, esai, dan obituari ke berbagai media.
Sejak 2018 Heru menjadi tim ahli Platform Indonesiana--sebuah jejaring kerjasama festival kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek RI. Platform Indonesiana adalah salah satu program yang diinisiasi untuk menerapkan Undang-Undang No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Sejak 2018 pula Heru menjadi anggota Koalisi Seni. Koalisi Seni adalah perkumpulan yang mengkhususkan diri pada advokasi kebijakan di bidang kesenian, dengan anggota tersebar di seluruh Indonesia.
Sejak 2020 Heru menjadi in-house curator Selasar Sunaryo Art Space, sebuah lembaga yang berfokus pada pengembangan seni rupa kontemporer secara khusus, kebudayaan visual secara umum, di Bandung.
Heru terlibat dalam banyak penyelenggaraan kegiatan, di antaranya: Bandung Art Now, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Jatiwangi Artists in Residence Festival, Majalengka, Jawa Barat; Bandung Art Now, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Seni Bandung#1—A Collaborative Arts Event, Bandung, Jawa Barat; Festival Seni Multatuli, Lebak, Banten; Foho Rai Festival, Belu, Nusa Tenggara Timur; Cerita dari Blora, Jawa Tengah; Palu Salonde Percussion, Sulawesi Tengah; Asiatopia Performance Art Festival, Bangkok Thailand; Edinburgh International Culture Summit, UK; Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM), Candi Prambanan, Jawa Tengah; International Forum for Advancement of Culture (IFAC), Jakarta.
tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB
foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto
sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/dari-kubus-putih-ke-tambak-garam
Apabila seseorang meluncur di poros horisontal, dari kota Rembang menuju Lasem atau sebaliknya, tampak di matanya tambak-tambak garam. Terpaan visual ini, sungguh, tiada terhindarkan oleh sesiapa yang melintas. Bahkan, andai dia mampu meluncur tegak lurus dengan langit, setidak-tidaknya melambungkan imajinasi secara vertikal, terlihat bahwa tambak-tambak ini memberikan aksentuasi warna distingtif bagi lukisan bentang alam dan lingkungan yang lebih luas. Bidang-bidang putih atau bagai kaca, yang memantulkan terik di sepanjang garis pantai, menjadi indeks bagi keberadaan tambak-tambak itu. Petak-petaknya menandai tepi tanah dan teluk, gunung dan semenanjung. Sanggupkah dia menghindar dari visualitas yang sangat wantah ini?
Apa yang disebut sebagai visualitas, kendati demikian, bukanlah semata produk tindakan retinal-fisiologis (menggunakan mata), melainkan terutama wacana sosial yang bermakna, dapat diberi makna. Secara historis warga Lasem telah terus-menerus, berbilang abad lamanya, memberi makna bagi bentang alam ini, sedemikian sehingga ia menjelma sebagai bentang budaya (cultural landscape). Posisi geografis Lasem, yang tersedia sebagai sebuah kawasan ideal bagi kapal dan perahu untuk berlabuh, sebab terlindung dari gelombang dan angin kencang, merupakan salah satu faktor paling signifikan dalam membangun sistem budaya dan sosialnya.
Komposisi bentang alam yang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan, dengan sumberdaya alam dan lingkungannya masing-masing, sukar dimungkiri, berkontribusi besar bagi bentang budaya dan kehidupan sosial Lasem, termasuk ekonominya. Sebagai sebuah kota pesisir, komoditas yang diperdagangkan tentu mencakup produk-produk yang variatif. Dari kawasan pantainya, antara lain, dihasilkan garam. Namun, Lasem pada khususnya dan Rembang pada umumnya kurang dikenal sebagai “kota garam” dalam sejarah. Tome Pires, misalnya, melaporkan dalam Suma Oriental bahwa Ramee (baca: Rembang) lebih dikenal sebagai negeri (penghasil) beras dan kayu, alih-alih garam.
Kajian Kwee Hui Kian, The Political Economy of Java’s Northeast Coast, c. 1740-1800: Elite Synergy (2006), menunjukkan bahwa garam ― baik diusahakan warga lokal atau monopoli pemerintah kolonial ― merupakan komoditas baru yang potensial semenjak dekade-dekade awal abad XVIII. (Ingat: tambak Tan Ke Wi di Lasem.) Dalam bingkai yang lebih besar, dia juga menyodorkan gambaran tentang bagaimana pada paruh kedua abad XVIII komoditas-komoditas utama, antara lain produk alam seperti garam dan sarang burung; produk pertanian seperti beras, kacang-kacangan, kapas, tembakau, lada, kapulaga, asam, dan ketumbar; produk hutan seperti kayu; serta produk pabrikan (manufactured goods) seperti gula kelapa, benang, dan kain, telah meramaikan Lasem dan kota-kota pelabuhan lainnya di Pesisir Timur-Laut Pulau Jawa.
“Garam adalah sebuah keniscayaan,” ujar Eggy Yunaedi, penggagas Bancakan Rupa. Sulit untuk membantahnya. Tiada kurang peribahasa dan perumpamaan yang menekankan ini. Selain terhubung dengan produk-produk budaya lain, garam niscaya bersentuhan secara resiprokal dengan dunia masak dan, dengan demikian, praktik makan dan makanan. Hingga hari ini, tradisi (Jawa) tertentu masih mengenal satu genre makanan yang bernama ambengan dan mempraktikkan santap sosial (social meal), berbagi makanan, dalam format bancakan. Bancakan adalah bagian penting dari slametan, ritual dasar masyarakat Jawa. Melalui bancakan inilah warga menikmati, bersantap-bareng, hidangan khas ambengan yang tersaji di atas lembar daun pisang atau tampah-tampah.
Bentang “lukisan” yang dikerjakan Eggy Yunaedi ― sebuah kerja kolaboratif dengan para petani garam dan warga Desa Dasun ― menyiasati media garam di atas “kanvas” Tambak Gede, yang sudah beroperasi sejak 1940-an. Peranti (ubarampe) yang ditonjolkan tersusun atas elemen-elemen alam spesifik: bumi (tanah) dan laut (air); udara (angin) dan matahari (api). Keempatnya direlasikan lebih jauh dengan tiga elemen konstitutif budaya Lasem: kejawaan, ketionghoaan, dan keislaman. Keseluruhan peristiwa yang menyajikan ambengan metaforis ini diwadahi dalam Bancakan Rupa. Oleh karena itu, mau tidak mau, konteks situasional dari peristiwa ini adalah kenduren atau slametan, di samping konteks historis yang sudah dipaparkan barusan.
Slametan tergolong sebagai ritus intensifikasi lantaran fungsi integratifnya, yaitu untuk mengafirmasi-ulang jaringan sosial, mengumpulkan warga dalam kebersamaan. Dalam ritual ini kerap berlangsung praktik perputaran pemberian, semisal bancakan. Di sini makanan yang tersaji sebagai ambengan menempati posisi simbolis dominan, menjadi pusat peristiwa. Bahkan para partisipan ritual masih bisa membawa pulang hidangan yang tersisa untuk berbagi dengan keluarganya. Ritual ini, meminjam kata-kata Clifford Geertz (1973: 142) dalam kitab klasiknya, The Interpretation of Culture (1973: 142), berperan untuk “reinforce the traditional social ties between individuals; strengthened and perpetuated through the symbolization of the underlying social values upon which the social structure is rest.”
Sebagai sebuah ritual, singkatnya, ia tiada lain daripada sejenis perjamuan yang berdampak solidaritas. Melalui proses ritual dasar ini rasa komunitas (a sense of community) ditekankan, solidaritas dikuatkan. Semua memperoleh berkat, ketenangan jiwa dan raga (slamet). Semuanya, tanpa kecuali, sebab tiada seorang pun merasa dirinya dibedakan dari yang lain. Setiap orang adalah sesama.
“Quiet, undramatic little ritual.” Demikian Geertz (1973: 147) menarik simpul bagi ritual ini. Tidak dramatis, katanya. Padahal, baik di dalam antropologi performans maupun kajian seni pertunjukan, sering dinyatakan bahwa ritual tidak mudah diperbedakan dari teater. Batas di antara kedua genre ini tipis saja: di satu sisi terdapat teater yang “menghibur,” menyenangkan; di sisi lain ritual yang “mujarab” (efficacious), berorientasi pada kepercayaan. Apa yang dikategorikan sebagai ritual selalu tertuju kepada problem eksistensial; memberikan artikulasi simbolis dan tematisasi hubungan di antara jagat duniawi (sosial) dan rohani (spiritual).
Pernyataan Geertz itu, dengan kata lain, seakan berseberangan dengan Rendra yang pernah mementaskan drama Selamatan Anak-Cucu Sulaiman. Tidak bisa dikatakan bertentangan, sesungguhnya. Pementasan Bengkel Teater Rendra justru dapat terjadi berkat kecerdasan kreatif dalam menyiasati ketidakdramatisan ritual tersebut. Harapan kita, berkaitan dengan peristiwa Bancakan Rupa, Eggy Yunaedi yang berkolaborasi dengan para pemulia garam dapat mentransformasi “Rewang Ambengan” sebagai media seni visual yang dinamis. Sebagaimana slametan yang tak-dramatis itu dapat berubah dramatis di tangan yang tepat, peristiwa Bancakan Rupa pun diharapkan dapat berkontribusi sebagai faktor dinamis, menjadi garam bagi lingkungan dan budaya Lasem.
*)PROFIL SINGKAT KRIS BUDIMAN
Kris Budiman, penulis yang berminat pada seni rupa, budaya visual, sastra, dan kepurbakalaan. Doktor di bidang kajian budaya ini selama tiga tahun terakhir menerbitkan beberapa buku: Blues Rindu (2020, terjemahan atas puisi-puisi Langston Hughes) dan Tatanan Wacana (2022, terjemahan atas esai Michel Foucault, “The Order of Discourse”). Novel terbarunya, Hierofani: Sebuah Fiksi Perjalanan (2023), segera terbit. Sejak 2013 menjadi kurator tetap di Sangkring Art Space, Yogyakarta.
tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB
foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto
sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/bancakan-rupa-konteks
*) Angga Hermansah, Warga Desa Dasun sekaligus Penulis Buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun
tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB
foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto
Sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/garam-warisan-pengetahuan-dari-masa-ke-masa
Oleh: Angga Hermansah*
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kata “pemajuan kebudayaan” sendiri jarang bahkan minim terdengar oleh telinga masyarakat, lebih khusus masyarakat desa. Baru nama pemajuan kebudayaan mulai muncul dibicarakan di publik ketika Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi meluncurkan program Pemajuan Kebudayaan Desa pada awal tahun 2021. Sebelumnya mulai tahun 2017 sejak disahkan sampai tahun 2020 pemajuan kebudayaan belum begitu dikenal apalagi mampu bergaung untuk mengimbangi pemberitaan nasional lainnya.
Pada pelaksanaan Program Pemajuan Kebudayaan terdapat kurang lebih 360-an yang terpilih menjadi desa pemajuan kebudayaan tahun 2021 dan berkurang menjadi 230 desa pada tahun 2022 & 2023. Untuk mempermudah pendampingan terhadap desa-desa, pada tahun 2021 Direktorat Kebudayaan melalui Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya membentuk pendamping kebudayaan desa (Daya Desa) yang berperan sebagai pendamping / fasilitator / penghubung informasi terhadap desa penerima program. Dan saya termasuk bagian dari itu, menjadi Daya Desa tepatnya Daya Desa Dasun kecamatan Lasem kabupaten Rembang.
Tahun 2021, tepatnya bulan November ratusan desa penerima program menggelar kegiatan pemanfaatan secara serentak. Mulai dari festival, pasar budaya, workshop, ritual, dan berbagai ragam pentas budaya desa lainnya yang dipilih oleh masyarakat desa untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Saat itu, mengingat masih dalam masa transisi pandemi, namun berhasil menyelenggarakan kegiatan kebudayaan di seluruh daerah Indonesia. Namun sayang, dari satu televisi nasional pun tidak melirik atau tertarik untuk menayangkan pemberitaan pemajuan kebudayaan yang jelas-jelas sebagai bentuk transformasi budaya dalam menghadapi percepatan pertumbuhan ekonomi dan teknologi negara-negara dunia. Lantas, apakah ada tahapan yang terlewat, sampai-sampai indikatornya ada yang tidak tercapai. Bukankah dalam era budaya layar, pentas budaya desa adalah sebuah hal yang layak menjadi trending topik dalam layar kaca?
Selanjutnya, tahun 2022 desa-desa penerima program berkurang secara drastis yang awalnya 360-an desa hanya tersisa 230 saja. Hal tersebut menandakan telah dilakukannya evaluasi terhadap program yang berjalan di tahun sebelumnya. Dan saya kira ada hal-hal baru yang ditawarkan pada tahun ini. Menjajaki tahun kedua, setiap desa membuat rencana jangka panjang mengenai pengembangan dan proses pemanfaatan budaya yang nantinya akan menjadi pedoman bagi desa dan mampu menjadi daya (kekuatan) bagi desa dalam bidang kebudayaan. Saya kira akan seperti tahun sebelumnya setiap desa akan melaksanakan kegiatan pemanfaatan dengan kualitas dan skala kegiatan yang lebih besar agar mampu menggaung dalam ruang komunikasi publik sosial budaya di masyarakat. Ternyata dugaan saya salah, hanya desa-desa terpilih atau yang dipilih yang diberi sokongan dalam menyelenggarakan kegiatan pemanfaatan. Dengan situasi tersebut muncul sebuah pertanyaan, apakah tahun ini gaung pemajuan kebudayaan akan sampai di penjuru Indonesia? Ternyata sama, tidak lebih baik dari tahun sebelumnya.
Harapan baru muncul pada tahun 2023 ini, desa mendapat angin segar. Tahun ini ada kegiatan pemanfaatan yang terbagi dalam beberapa kategori antara lain ; festival, pasar budaya, pembuatan buku, film/video dokumenter, revitalisasi sanggar, pembuatan website, sekolah budaya, perpustakaan, desain produk, travel pattern,dan workshop. Setiap desa berlomba-lomba menyusun konsep kegiatan, susunan kepanitiaan dan juga rencana anggaran biaya yang nantinya diusulkan kepada Direktur Kebudayaan melalui Daya Desa. Waktu selalu berputar, sudah mulai tahap revisi dan pematangan konsep kegiatan, dan ada juga desa-desa yang sudah menghubungi berbagai stakeholder serta penetapan kepanitiaan. Namun apa yang terjadi, tak ada angin tak ada hujan, kegiatan pemanfaatan yang seharusnya diterima oleh 230 desa diputuskan hanya sebanyak 33 desa dengan kategori yang telah ditentukan. Dan desa lainnya yang belum mendapatkan kesempatan pemanfaatan dialihkan untuk difasilitasi pembuatan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD).
Dari informasi yang saya terima, alasan mendasar terjadinya perubahan ini dilatarbelakangi evaluasi yang telat, yang dilakukan oleh Tim Pelaksana. Bukan berniat memojokkan satu pihak, karena keterlambatan evaluasi tersebut membuat kekecewaan ratusan masyarakat desa yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga di sela-sela aktivitas kesehariannya untuk berkontribusi dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan. Walaupun benar hasil evaluasi yang dilakukan menunjukkan gaung pemajuan kebudayaan selama ini belum menggema, serta komunikasi publik yang dingin dari setiap kegiatan desa untuk mengangkat pemajuan kebudayaan pada masyarakat yang lebih luas. Ditambah cenderung rampingnya jumlah penerima dana pemanfaatan, dan digemukkannya anggaran tiap desa yang menerima, apakah menjamin gaung pemajuan kebudayaan akan berlayar di seluruh wilayah Indonesia? Atau bahkan “mlempem” dan sama seperti dua tahun sebelumnya? Padahal program sudah di ujung jalan.
Harapan pun berlabuh dalam kegiatan kongres kebudayaan. Dalam benak saya, masalah tipisnya gaung pemajuan kebudayaan di tingkat desa ini diangkat dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang berlangsung selama 23-27 Oktober 2023. Namun sayang, dalam kongres yang memaklumatkan kebudayaan sebagai daya transformasi keIndonesiaan ini, diskursus tentang gaung pemajuan kebudayaan masih jauh api dari panggang. Masyarakat desa tidak menggubris berlangsungnya kongres kebudayaan. Bahkan sepuluh maklumat yang dihasilkan dalam kongres kebudayaan, seakan tidak direspon. Deretan maklumat yang membela keragaman sosial budaya yang diyakini mampu membela pemajuan bangsa, perhatiannya publik kalah jauh dengan menanti deretan maklumat pengadilan memutus umur penguasa.
Menengok hasil Kongres Kebudayaan Indonesia pada poin pertama dan kedua.
“Kebudayaan sebagai daya utama dalam transformasi ke-Indonesiaan merupakan hasil kesepakatan yang terus menerus berproses untuk mengolah dan mengembangkan keanekaragaman dan kekayaan hayati dan budaya dalam mengurangi perubahan global multi-dimensi”
“2024-2029 merupakan babak penting dalam meletakkan pemajuan kebudayaan sebagai dasar publik, dan sekaligus panduan transformasi ekonomi, sosial dan ekologi, melalui tata kelola yang sehat , dan kerja para pelaku dan pandu-pandu budaya pada berbagai bidang , tingkatan dan sektor. Visi Indonesia 2045 mempersyaratkan terbentuknya pandu-pandu yang berbudi-daya dan berdaya-budi pada babak ini”
Melihat dari dua poin diatas terlihat bahwa kebudayan akan menjadi bahan baku transformasi di berbagai lini yang sebelumnya sudah ditopang oleh gerakan pemajuan kebudayaan. Transformasi bisa terjadi jika terdapat tiga faktor pendukung yaitu kebijakan, partisipasi masyarakat, dan kebutuhan/pasar. Padahal jika ditarik kebelakang pada program pemajuan kebudayaan, masih banyaknya masalah-masalah yang terjadi di tingkat desa khususnya tidak terjalinnya komunikasi yang intens antar daya desa dan pihak desa serta minimnya kontribusi anggaran dari desa terhadap program. Mungkin hanya sekian desa yang dengan senang hati dan antusias menggelontorkan dana desanya untuk pengembangan potensi budaya melalui pemajuan kebudayaan. Saya sendiri mulai ragu, kebudayaan menjadi daya transformasi keIndonesiaan, akan berjalan mulus.
Terlebih, kalau dilihat kasat mata, memang banyak desa-desa yang menggelontorkan anggarannya untuk event kebudayaan. Namun kalau dianalisis lebih dalam lagi kegiatan /event yang dilaksanakan memang sudah berlangsung sejak lama sebelum adanya program pemajuan kebudayaan diluncurkan. Dan kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi yang dilaksanakan setiap tahunnya. Ditambah lagi, kata pemajuan kebudayaan tidak muncul ataupun menggaung dalam kegiatan-kegiatan di desa. Bahkan, keberadaan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD) yang diharapkan menjadi acuan pembangunan desa dalam bidang kebudayaan, pemajuan kebudayaan akan mengakar kuat di ruang interaksi masyarakat ataukah sebaliknya, dokumen tersebut hanya menjadi produk formalitas saja di penghujung jalan saja. Apalagi, melihat masalah internal di tingkat desa yang belum selesai, dimana sedikit sekali adanya dukungan Kepala Desa terhadap Daya Desa dalam hal kontribusi anggaran .
Memperbincangkan kebudayaan menjadi daya transformasi keIndonesiaan memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Firasat saya, jangan-jangan, program pemajuan kebudayaan belum mampu merebut ruang rindu dari masyarakat. Jangan-jangan, mental nerabas itu masih bersemayam dalam diri orang-orang yang mengaku masyarakat berbudaya. Sebagai autokritik diri saya dan teman-teman Daya Desa lainnya, jangan-jangan pendekatan kita selama ini hanya mengutamakan budaya layar saja.
Mari bersama-sama saling memancarkan peran maju bersama kebudayaan kita. Tetap jeli dan tidak salah langkah dalam menjadikan budaya menjadi daya utama transformasi sosial dan ekonomi. Nilai-nilai pemajuan kebudayaan memang sudah tepat untuk menghidupi keberlangsung kebudayaan. Dan tak lupa strategi dan tahapan perlu diperhatikan karena itu sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.
* Penulis adalah Daya Desa dan Penulis Buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun
Berkas Foto: Foto milik MPI dalam https://img.inews.co.id/media/822/files/inews_new/2023/09/06/ade_darmawan.jpg
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya Achmad Sholeh Syariffudin, pemuda Desa Dasun, selama saya mengikuti dan perperan dalam komunitas DHS (Dasun Heritage Society) komunitas ini sangat berperan aktif dalam menjaga dan mempertahankan sejarah serta budaya di Desa Dasun. Setelah pengukuhan tahun 2016, DHS mulai bergerak bersama karangtaruna Desa Dasun untuk mengidentifiksi sejarah dan budaya di Desa Dasun. Terlebih lagi, dengan adanya dukungan penuh dari pemerintah Desa Dasun semakin semangat teman-teman dari komunitas DHS dalam menjaga sejarah dan budaya desanya. Kegiatan yang dilakukan oleh DHS dengan di dukung Pemerintah Desa Dasun mulai kegiatan gelar budaya yang dilakukan setiap tahun yang berguna untuk memperkenalkan kembali budaya desa serta menarik pengunjung datang ke desa Dasun, pembersihan sungai Desa Dasun dari sampah agar saat susur sungai dengan wisatawan terasa nyaman, menyelipkan permainan tradisional pada saat lomba HUT RI, serta mendokumentasikan kegiatan yang mempunyai unsur budaya agar tidak dilupakan, dan masih banyak lagi kegiatan DHS yang sudah menjadikan Desa Dasun masih menjaga sejarah dan budaya yang ada.
Saya masih ingat betapa semangatnya teman-teman DHS pada saat membantu mas eksan, penulis buku pertama Desa Dasun yang berjudul “Dasun Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya” dalam mencari informan, mencari dokumentasi terkait sejarah Desa Dasun dan juga jerih payah mas eksan dan teman-teman DHS sehingga buku pertama Ini sebuah buku yang dicari oleh banyak orang terutama orang-orang sejarawan. Kekompakan teman-teman DHS dan juga karangtaruna Desa Dasun bukan hanya disitu saja, tetapi pada saat desa dipanggil ke jakarta untuk mewakili Kota Rembang dalam program Desa Budaya, DHS pun sanggup untuk melakukan identifikasi terkait kebuadayaan yang ada di desa dasun, Angga hermasnyah selaku daya desa yang mana juga ikut dalam DHS megulik dan mencari informan yang berkaitan dengan kebudayaan Desa Dasun. Angga dan komunitas DHS ini mendokumentasi setiap wawancara dan juga kegiatan kebudayaan desa dasun, mulai dari mata pencaharian tradisional, tradisi Desa Dasun, permainan tradisional, ritus hidup Desa Dasun, Alat-Alat tradisional, pengobatan tradisional, masakan khas desa, Laesan dan kanung, serta sumur dan rumah warga semua didokumentasi dan menjadi sebuah buku kedua Desa Dasun yang berjudul “ Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun” yang ditulis oleh Mas Angga dan dibantu oleh teman-teman DHS.
Kekompakan DHS dalam memperkenalkan kembali kebudayaa Desa Dasun juga tidak main-main, dalam program pemajuan kebudayaan desa dari KEMENDIGBUDRISTEK , DHS membuat miniatur kebudayaan yang mana bisa dikenalkan langsung kepada anak-anak Desa Dasun dan dipamerkan setiap ada kegiatan desa. Berkat adanya Festival Bandeng mrico yang dijalankan oleh DHS, daya warga dan warga Desa Dasun di pantai Dasun bukan hanya sekedar mendatangkan wisatawan untuk datang ke pantai tetapi adanya festival bandeng mrico ini membuktikan bahwa Desa Dasun bukan hanya akan kaya dengan sejarah tetapi juga kaya dengan budayanya yang memamng patut di pertahankan.
Untuk saya, selaku pemuda Desa Dasun, DHS harus tetap ada disetiap pergerakan pemuda Desa baik dalam ruang lingkup kepemudaan atau acara-acara Desa,agar bisa menyelipkan informasi kebudayaan ataupun sejarah yang ada di Desa Dasun, tetap menjaga kekompakan, tetap menjaga sejarah dan budaya Desa bahkan harus bisa membawa informasi sejarah dan budaya di khalayak umum.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Penulis adalah Achmad Sholeh Syarifudin, Anggota Komunitas DHS Dasun
Sejak awal berdirinya Dasun Heritage Society (DHS), Desa Dasun memiliki beragam kegiatan kreatif dalam melestarikan potensi alam dan budayanya. Mulai dari pendataan potensi, pembuatan film dokumenter, peningkatan literasi melalui perpustakaan, dukungan kegiatan kebudayaan, sampai penyusunan buku. Dasun Heritage Society (DHS) selalu menjadi yang terdepan mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan warisan Desa Dasun.