About Me

Dasun Heritage.

Komunitas Dasun Heritage Society adalah komunitas yang bergerak dalam bidang pelestarian pusaka di Desa Dasun Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Komunitas ini memiliki tekad untuk mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan pusaka atau heritage di Desa Dasun.

Brithday 09-12-2016
Call +62 895-4124-99678
Email pusakabaharidasun@gmail.com
Website https://pusakadasun.blogspot.com/
Download CV Hire Me

My Skill

Komunitas Dasun Heritage Society adalah komunitas yang bergerak dalam bidang pelestarian pusaka di Desa Dasun Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang.

Komunitas ini memiliki tekad untuk mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan pusaka atau heritage di Desa Dasun.

Penelitian
Festival Wisata
Pemberdayaan Komunitas
Pelestari Pusaka

My Services

What i offer

Penelitian Pusaka

Membukukan kekayaan pusaka Desa Dasun dengan cara melakukan penelitian yang komprehensif, partisipatif, dan mendalam

Publikasi Pusaka

Membuat produk digital dari hasil penelitian pusaka dalam bentuk fotografi dan videografi yang dishare di website dan media sosial

Daya Lenting

Melakkan followup hasil kajian pusaka desa Dasun dalam bentuk menyusun daya pancar untuk pemajuan pusaka desa Dasun

Dokumen Pusaka

Mengumpulkan, merawat, dan melestarikan data pusaka desa Dasun dalam bentuk Bank Data Pusaka Desa Dasun

Jaringan Pusaka

Bersinergi dan bekerjasama dengan komunitas dan lembaga terkait dalam memanfaatkan Pusaka Desa Dasun untuk pemajuan Desa Dasun

Pemberdayaan Pusaka

Menyelenggarakan event pusaka desa Dasun yang bertujuan meningkatkan nilai tawar pusaka desa Dasun

5

Anggota Komunitas

3

Projects Done

1

Buku

1

Kewirausahaan

My Portfolio

What i do
  • All
  • Travel
  • Photograph
  • Foods

My Experience

My Recent Experiences
Desember 2020
Buku Dasun 1

Dasun Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya adalah buku dasun pertama yang berhasil diterbitkan. Exsan Ali Setyonugroho adalah penulis sekaligus Ketua Program penyusunan buku pertama. Cetakan pertama buku ini diterbitkan Lintas Nalar Yogyakarta, nomor ISBN 978-623-7212-62-1, dengan editor Dwi Cipta.

Desember 2021
Buku Dasun 2

Buku kali kedua yang telah diterbitkan adalah Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun dengan penulis Angga Hermansah. Cetakan pertama buku ini diterbitkan CV Lintas Nalar Yogyakarta, nomor ISBN 978-623-5517-17-9, dengan editor yang sama yaitu Dwi Cipta.

Desember 2022
Buku Dasun ke 3

Buku ketiga yang akan diproduksi adalah tentang Rempah Desa Dasun. Buku ini rencana yang disusun oleh Achmad Sholeh Syarifudin. Penelitian awal telah dimulai sejak awal tahun 2022 ini. Buku ini direncakan segera terbit untuk melengkapi data pusaka desa Dasun.

Desember 2023
Buku Dasun 4

Buku kali keempat yang telah diterbitkan adalah Sungutan Tambak Dasun dengan penulis Angga Hermansah. Cetakan pertama buku ini masih dalam proses diterbitkan CV Lintas Nalar Yogyakarta, nomor ISBN dalam proses, dengan editor yang sama yaitu Dwi Cipta.

Desember 2023
Buku Dasun 5

Buku kali kelima yang telah diterbitkan adalah Sungai Lasem dengan penulis Angga Hermansah. Cetakan pertama buku ini masih dalam proses diterbitkan CV Lintas Nalar Yogyakarta, nomor ISBN dalam proses, dengan editor yang sama yaitu Dwi Cipta.

My Blog

Latest blog


Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa lepas dengan namanya pengetahuan. Dari pengetahuan yang paling sederhana sampai dengan pengetahuan yang kompleks. Pengetahuan tanpa kita sadari memberikan pedoman tata kelola dalam kehidupan,lebih khusus masyarakat desa yang tetap eksis dalam mempertahankan, melestarikan, dan mempraktekkan pengetahuan tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Desa sebagai salah satu akar besar budaya bangsa Indonesia telah memberikan kontribusi besar dalam kekayaan sumber pengetahuan tradisional yang telah ada sejak zaman dahulu. Akan tetapi pada saat ini pengetahuan tradisional sedikit demi sedikit mulai memudar, seiring dibarengi dengan munculnya pengetahuan modern yang memberikan kemudahan bagi setiap orang. Entah itu disengaja atau tidak, beberapa pengetahuan modern malah melemahkan kita dalam hal bertahan hidup menghadapi alam. Namun pengetahuan modern tetap diperlukan, akan tetapi sumber pengetahuan tradisional harus tetap eksis dan terus diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk praktik-praktik budaya yang nyata.

Salah satu pengetahuan tradisional yang sering dijumpai di berbagai daerah dan desa yaitu tentang perhitungan musim atau mangsa.  Perhitungan musim seringkali menjadi pokok bahasan masyarakat desa, seperti masyarakat nelayan dan petani tambak di Desa Dasun yang sangat bergantung dengan musim dan cuaca. Kelompok nelayan perlu menghitung musim untuk menentukan waktu dan alat tangkap yang digunakan untuk pergi melaut. Dan juga para petani tambak yang memerlukan perhitungan musim untuk menentukan kapan memulai produksi garam atau mulai budidaya ikan bandeng. Pengetahuan tradisional yang berhubungan dengan kendali air inilah kemudian Penulis sebut dengan istilah pranoto banyu. 

Pranoto banyu merupakan pengetahuan dalam memahami dan menguasai pergantian dan penghitungan musim, perubahan pergerakan air sungai dan laut, tata cara pengelolaan tambak bandeng dan garam, serta tanda alam yang mempengaruhi musim tangkapan nelayan. Pengetahuan tersebut bagi masyarakat Dasun amat penting dalam menyiapkan segala sesuatu  hal, baik  tata cara, sikap dan perubahan yang akan terjadi pada alam. Hal ini menjadikan pranoto banyu sebagai praktik kebudayaan masyarakat Dasun dan bagian dari memori kolektif yang tersimpan di dalam pikiran dan perilaku manusianya.

Hadirnya buku ini merupakan upaya untuk merekam memori kolektif dan praktik kebudayaan yang melekat dalam masyarakat Dasun yang kaya akan pengetahuan maritim. Terdapat tujuh bab dalam mengungkap memori kolektif pranata banyu masyarakat Dasun. Bab pertama dan bab ketujuh merupakan cerita Penulis saat melakukan penelitian memori kolektif kolektif pranata banyu sekaligus gagasan keberlanjutan Penulis dalam merespon momori kolektif tersebut. Selebihnya buku ini disajikan lima bab untuk para Penutur memori kolektif dengan pranata banyu di Desa Dasun tepatnya mulai bab dua hingga bab enam. Lima bab tersebut disajikan penuturan Informan tentang pranata banyu tambak garam oleh Bapak Sutrisno, pranata banyu tambak bandeng oleh Mbah Sidiq, pranata banyu segoro lor yang dituturkan oleh Mbah Yono atau Mbah Yono, pranata banyu segoro tambak yang dituturkan oleh Pak Dhe Nanto, dan pranata banyu Kali Dasun  yang dituturkan oleh Pak Dhe Tono. 

Dalam menyajikan memori kolektif pranata banyu masyarakat desa Dasun, buku ini disuguhkan dalam bentuk teks percakapan antara penulis dan informan. Percakapan memori kolektif ini di transkrip tanpa adanya penambahan dan pengurangan. Dengan penyajian tersebut, diharapkan para Pembaca buku ini seolah-olah merasakan penuturan langsung di depan Informan. Dengan suguhan teks percakapan secara langsung juga, para Pembaca dapat secara merdeka dalam menginterpretasi tentang pranata banyu yang dimiliki masyarakat Dasun. Adapun informan dipilih sesuai dengan rekomendasi masyarakat serta pengamatan dari Penulis langsung tentang aktor-aktor dalam praktik kebudayaan pranata banyu. 

Pada hakikatnya, pembuatan buku ingin mengembalikan kepopuleran pengetahuan tradisional dalam bidang kemaritiman yang semakin lama semakin memudar. Padahal jika kita tarik ke belakang pada zaman kerajaan Majapahit, letak kekuatan bangsa kita berada pada praktik kemaritiman yang fasih dan tangguh dengan didasari pengetahuan tradisional yang kuat dan mengakar. Untuk mengembalikan kekuatan dan kesohoran kemaritiman itu bisa dimulai dari dan dengan hal kecil, kita sebagai penerus, mau berinteraksi, mendengar,  bertanya, menanyakan ulang hasil penafsiran, menyebarluaskan, hingga mengajak generasi muda untuk melakukan pendataan memori kolektif yang dimiliki kelompok sosial khususnya tentang pranata banyu yang dimiliki masyarakat nelayan dan kelompok adat kemaritiman. , mampu menerjemahkan dan lebih baik lagi jika mampu mempraktekkan kembali dan meneruskan ke generasi selanjutnya.

Penulis ucapkan terimakasih dan salam hormat kepada para Informan yang telah menyampaikan memori kolektifnya tentang pranata banyu. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Pemerintah Desa Dasun yang selalu mensupport dalam proses pembuatan buku ini. Dan tak lupa juga, Penulis ucapkan terimakasih kepada keluarga dan teman-teman seperjuangan yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat agar tetap terus berada di jalan pelestarian dan pemajuan kebudayaan agar nilai-nilai kebudayaan tetap terus diwariskan ke generasi selanjutnya.

Salam Lestari,,

Yogyakarta, 07 Maret 2024




Menurut Witasari (2015) dalam Astha Brata dan Pranata Mangsa: Alam dan Relasi Kuasa, pranata mangsa merupakan wujud harmonisasi hubungan antara manusia lingkungan alam-dan Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan petani Jawa, dan masyarakat tradisional lainnya adalah bentuk keyakinan atas cara Tuhan bekerja mengatur alam melalui tanda-tanda alam, sebagai bagian dari keseimbangan kosmologis. Bentuk keyakinan tersebut kemudian diekspresikan dalam keseharian masyarakat kita, diantaranya adalah ekspresi kapan mengolah lahan, jenis tanaman apa yang ditanam, hingga tradisi yang membersamainya masih berhubungan dengan keyakinan pranata yang dikuasainya. Perihal pranata mangsa, kita juga diingatkan Sitaningtyas (2018) dalam Nilai Luhur Pranata Mangsa Dalam Sistem Pertanian Modern. Jurnal Ilmiah Hijau Cendekia, 1(2), 28-32, agar kita tidak lupa, bahwa pranata mangsa merupakan warisan nenek moyang petani Jawa yang membagi musim menjadi 12 mangsa. Masing-masing mangsa menjadi pedoman untuk melakukan kegiatan budidaya pertanian. Kedua belas mangsa dibagi berdasarkan pergerakan bintang, pembagian itu meliputi kondisi cuaca, kondisi alam, kondisi psikologi masyarakat dan anjuran kegiatan pertanian yang dapat dilakukan. Dan lebih bangganya lagi, dalam studi Karjanto (2022) dalam Revisiting Indigenous Wisdom of Javanese Pranata mangsa. Comment on Zaki et al. Adaptation to Extreme Hydrological Events by Javanese Society through Local Knowledge. Sustainability 2020, 12, 10373. Sustainability, 14(15), 9632, menegaskan bahwa dengan memadukan pranata mangsa (memadukan kearifan lokal) dengan data ilmiah, masyarakat Jawa memiliki ketahanan yang lebih baik dalam beradaptasi terhadap kejadian hidrologi ekstrem yang terjadi akibat pemanasan global dan perubahan iklim.
 
Dalam catatan Sobirin (2018) tentang lini masa pranata mangsa dalam Pranata Mangsa dan Budaya Kearifan Lingkungan, sejarah  zaman  keemasan  sampai  pudarnya  pranata mangsa,  dapat  dibagi  dalam  lima periode. Periode pertama sekitar tahun 1817, ketika unsur-unsur  pranata  mangsa  telah  dimanfaatkan oleh petani untuk kegiatan pertaniannya. Periode kedua sekitar tahun 1855 ketika pranata mangsa  ditetapkan  oleh Sri  Paduka  Susuhunan Pakubuwono  VII  sebagai  kalender  resmi  pertanian.  Periode ketiga  sekitar  tahun  1920,  ketika pranata  mangsa  mulai  meleset  dengan  diketahui adanya  anomali  iklim.  Periode  keempat  sekitar tahun 1970-an hingga tahun 1990-an ketika pembangunan infrastruktur di   Pulau Jawa meningkat pesat, sehingga pranata mangsa banyak tidak tepatnya. Periode kelima sekitar  tahun  2000  hingga  terakhir  tahun  2016  ketika modernisasi  kehidupan  telah  merata  di  Pulau Jawa  dan  pranata  mangsa  tidak  lagi  dihiraukan lagi sebagai kalender pertanian.

Dalam catatan Prahmana dkk (2021) dalam Ethnomathematics: Pranata mangsa System and The Birth-Death Ceremonial in Yogyakarta, telah mengingatkan kita bahwa masyarakat Jawa memiliki pembagian musim sejumlah duabelas mangsa. Pranata mangsa tersebut diantaranya; Mangsa Kasa(Musim pertama), Mangsa Karo (Musim kedua), Mangsa Katelu (Musim ketiga), Mangsa Kapat (musim keempat), Mangsa Kalima (Musim kelima), Mangsa Kanem( musim keenam), Mangsa Kapitu (musim ketujuh), Mangsa Kawolu (musim kedelapan), Mangsa Kasanga (musim kesembilan), Mangsa Kasepuluh(Musim kesepuluh), dan Mangsa Sadha (Musim kedua belas). 

Pranata mangsa hingga sekarang masih difungsikan. Studi Khotimah (2019) melaporkan pranata mangsa masih digunakan oleh petani di Kecamatan Imogiri sebagai pengendali kegiatan pertanian. Menurut Khatimah, kegiatan para petani yang berhubungan dengan pranata mangsa diantara pengambilan keputusan dalam menentukan jenis penggunaan lahan, pergiliran tanaman, dan jenis tanaman dominan di dalamnya. Keberfungsian pranata mangsa juga terapkan untuk mitigasi bencana. Hal ini dapat dilihat studi Sobirin (2018) dimana Pada  zaman  dahulu,  banjir  dan  kekeringan  telah  ada,  tetapi  kemungkinan  terjadinya peristiwa  lingkungan  terkait  air  tersebut  dapat diprediksi  jauh  sebelumnya,  sesuai  seperti  yang tertulis  pada  mangsa-mangsa    tertentu    dalam  pranata  mangsa. Sejak lama pranata mangsa telah menjalin relasi dengan masyarakat, khususnya Jawa. Menurut Badrudin (2024) dalam kaitannya dengan pranata mangsa, masyarakat Jawa mempunyai konsep hubungan vertikal dan horizontal yang meliputi: konsep Tuhan, dunia/bumi, waktu, dan ruang. Melalui pranata mangsa, para petani menyelaraskan diri dengan kosmos dan alam. Dari tiga kajian tersebut, keberadaan pranata mangsa dalam keseharian masyarakat Jawa masih berfungsi baik karena membantu dalam memahami musim dan mitigasi bencana yang akan terjadi, karena adanya hubungan relasional dalam membangun pengetahuan tentang pemahaman musim yang dibalut dengan hubungan horizontal dan hubungan vertikal.

Namun dengan pusaran fungsi dan relasi kuat itu, ternyata pranata mangsa dalam keadaan terancam. Menurut studi FIdiyani dan Kamal (2012) pranata  mangsa yang masih menjadi patokan bercocok tanam ini, akan tetapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pranata mangsa mulai ditinggalkan. Ini merupakan ancaman terhadap eksistensi pranata mangsa sebagai warisan budaya bangsa. Adapun ancaman pranata mangsa diantaranya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, irigasi teknis yang telah tertata dengan baik, dan keengganan petani untuk mempelajari pranata mangsa karena kerumitan dalam penghitungannya. Seiring dengan berjalannya waktu, dimungkinkan masyarakat Jawa akan kehilangan kearifan lokal dalam memahami mangsa. Keunikan pengetahuan lokal yang diceritakan Riza (2018) tentang memahami musim dengan telapak kaki, dimana penentuan penanggalan pranata mangsa Jawa dengan metode “jam matahari horizontal” menggunakan telapak kaki seseorang yang dapat diandalkan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Hal ini murni karena cara sebagian masyarakat Jawa menentukan pranata mangsa penanggalan Jawa secara langsung di lapangan. Keunikan pengetahuan lokal dalam memahami musim juga dapat dilihat studi yang publikasikan jurnal Intisari tentang tanda-tanda musim dari kicau burung, desir angin, hingga matahari. Beberapa kalangan menyebut pranata mangsa sebagai kombinasi ilmu dan pengalaman. Pasalnya, untuk memahami pranata mangsa, indra harus lihai menanggapi berbagai macam perubahan yang terjadi di alam. Para petani biasanya akan menggunakan tanda-tanda seperti kicau burung, desir angin, maupun cahaya matahari. Keunikan lagi adalah pengetahuan lokal dalam mengidentifikasi hama yang akan muncul di setiap musim. Studi tersebut telah dilakukan Wisnubroto (1997) dimana petani kita memiliki pengetahuan tentang terdapat hubungan antara indikator mangsa dengan intensitas serangan hama penggerek batang padi. Mungkin pengetahuan yang demikian akan segera hilang? 

Kritik Suwanto dkk (2010) dalam naskah Identifikasi Sains Asli (Indigenous Science) Sistem Pranata Mangsa Melalui Kajian Etnosains. In Prosiding Seminar Biologi dalam (Vol. 7, No. 1), melaporkan bahwa sebab generasi muda meninggalkan pranata mangsa karena perubahan profesi, kurangnya informasi, dan perubahan iklim. Bagaimana ketertarikan generasi muda menjadi petani? Apakah generasi muda disini memahami pranatamangsa? Apakah pranatamangsa memberi sumbangan dalam beradaptasi dengan perubahan iklim global saat ini? merupakah daftar pertanyaan belum terjawab. 

Walaupun demikian, kabar baik selalu datang seiring dengan rasa khawatir kita terhadap hilangkan pengetahuan lokal masyarakat tentang pranata musim ini. Kabar baik itu dapat kita jumpai pada studi Rahma dkk (2021) dimana pengetahuan pranata mangsa telah diadaptasikan dengan materi matematika. Pranata mangsa menjadi sumber belajar matematik. Selain pranata mangsa, Rahma juga menggunakan dan memadukan pengetahuan lokal masyarakat Yogyakarta dalam menggunakan pemodelan matematika untuk menentukan sistem musim dan tanggal pemakaman. Menurut Rahma, model-model ini berpotensi untuk digunakan sebagai titik tolak dalam pembelajaran matematika.

Kabar baik itu juga datang dari Kristoko dkk (2012) dalam pdated pranata mangsa: Recombination of local knowledge and agro meteorology using fuzzy logic for determining planting pattern. International Journal of Computer Science Issues (IJCSI), 9(6), 367, dimana telah dilakukan transformasi sosial pranata mangsa terhadap agrometeorologi. Kristoko menegaskan, sistem pranatamangsa baru yang bertujuan untuk menghasilkan prototype, simulasi rencana pola (periode 10 hari) dan perbandingan awal sistem pranatamangsa lama dan masa kini dengan menggunakan kombinasi sistem pranatamangsa dan pengetahuan agrometeorologi modern. Semoga saja dengan kabar baik (dalam ruang terbatas) ini pengetahuan pranata mangsa akan tetap terawat dikemudian.

Namun kabar baik itu tidak berlaku untuk pranata mangsa bagi para nelayan. Studi tentang pranata mangsa untuk nelayan masih langka ditemukan. Beberapa studi pranata mangsa menangkap ikan di laut dapat kita jumpai pada Partosuwiryo (2013) tentang Kajian Pranata Mangsa Sebagai Pedoman Penangkapan Ikan Di Samudra Hindia Selatan Jawa, Ardiansah (2019) tentang Perancangan Buku Visual Pranatamangsa Sebagai Pengetahuan Melaut dan Bercocok Tanam di Yogyakarta, Venia (2020) tentang Etnoastronomi masyarakat nelayan di Desa Bonang Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Keterbatasan studi tentang pranata mangsa ini jelas berbanding terbalik dengan potensi sumber daya laut kita miliki. Terlebih aktivitas di laut yang cenderung berisiko, maka kajian-kajian tentang pranata mangsa untuk untuk nelayan sudah saatnya dilakukan.  

Kajian pranata mangsa untuk nelayan, Penulis istilahkan Pranata Banyu. Maksud dari istilah pranata banyu merupakan pengetahuan yang meliputi pergantian dan penghitungan musim, perubahan pergerakan air sungai dan laut, tata cara pengelolaan tambak bandeng dan garam, serta tanda alam yang mempengaruhi musim tangkapan nelayan. Istilah tersebut Penulis munculkan sebagai pembeda dengan pranata mangsa yang dikenal selama ini oleh masyarakat agraris, selain itu pranata banyu bukan hanya membahas soal perhitungan musim ( mangsa ) melainkan juga tata kelola air untuk budidaya bandeng dan proses pembuatan garam.

Rujukan Tulisan 
  • Ardiansah, I. (2019). Perancangan Buku Visual Pranatamangsa Sebagai Pengetahuan Melaut dan Bercocok Tanam di Yogyakarta (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Dalam http://digilib.isi.ac.id/5817/. Diakses pada tanggal 19 Februari 2024, pukul 21.30 WIB. 
  • Badrudin, A. (2014). Pranata Mangsa Jawa (Cermin Pengetahuan Kolektif Masyarakat Petani/ nelayandi Jawa). http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/83880. Sabtu, 17 Februari 2024; 11:15 wib
  • Intisari. https://intisari.grid.id/read/033855183/arti-pranata-mangsa-sebagai-salah-satu-ajaran-dalam-primbon-jawa-cocok-bagi-yang-punya-profesi-ini?page=all Senin, 19 Februari 2024; 22.58 WIB ---
  • Karjanto, N. (2022). Revisiting Indigenous Wisdom of Javanese Pranata mangsa. Comment on Zaki et al. Adaptation to Extreme Hydrological Events by Javanese Society through Local Knowledge. Sustainability 2020, 12, 10373. Sustainability, 14(15), 9632.  https://doi.org/10.3390/su14159632.   Sabtu, 17 Februari 2024; 22:04  wib.
  • Khotimah, N. (2019, November). Pranata mangsa and the sustainability of agricultural land resources management in Imogiri sub-district of Bantul regency. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 338, No. 1, p. 012029). IOP Publishing. doi:10.1088/1755-1315/338/1/012029. Sabtu, 17 Februari 2024; 12:06  wib  
  • Kristoko, H., Eko, S., Sri, Y., & Bistok, S. (2012). Updated pranata mangsa: Recombination of local knowledge and agro meteorology using fuzzy logic for determining planting pattern. International Journal of Computer Science Issues (IJCSI), 9(6), 367.  https://www.proquest.com/openview/35c8689ac7ab3f8e3b707b18c39a1030/1?pq-origsite=gscholar&cbl=55228. Sabtu, 17 Februari 2024; 12:29  wib
  • Partosuwiryo, S. (2013). Kajian Pranata Mangsa Sebagai Pedoman Penangkapan Ikan Di Samudra Hindia Selatan Jawa. Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada , 15 (1), 20-25. https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1235000&val=11977&title=. Minggu, 18 Februari 2024; 00:04 WIB.   Ali Badrudin, SS (2018). Mangsa Pranata Jawa (Disertasi Doktor, Universitas Gadjah Mada). Minggu, 18 Februari 2024; 00:08
  • Prahmana, R. C. I., Yunianto, W., Rosa, M., & Orey, D. C. (2021). Ethnomathematics: pranatamangsa system and the birth-death ceremonial in Yogyakarta. http://doi.org/10.22342/jme.12.1.11745.93-112. Sabtu, 17 Februari 2024; 11:45  wib
  • Retnowati, A. (2014). Culture and risk based water and land management in karst areas: an understanding of local knowledge in Gunungkidul, Java, Indonesia. https://core.ac.uk/download/pdf/56346214.pdf. Sabtu, 17 Februari 2024; 23:27 wib 
  • Riza, M. H. (2018). Sundial Horizontal dalam Penentuan Penanggalan Jawa Pranata Mangsa. Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, 2(1), 119-142. DOI: 10.30659/jua.v2i1.3016. Sabtu, 17 Februari 2024; 12:32  wib
  • Sarwanto, S., Budiharti, R., & Fitriana, D. (2010). Identifikasi Sains Asli (Indigenous Science) Sistem Pranata Mangsa Melalui Kajian Etnosains. In Prosiding Seminar Biologi (Vol. 7, No. 1). https://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/prosbio/article/view/1263/856. Sabtu, 17  Februari 2024; 22:51 wib.  
  • Sitaningtyas, H. A. P. F. (2018). Nilai Luhur Pranata Mangsa Dalam Sistem Pertanian Modern. Jurnal Ilmiah Hijau Cendekia, 1(2), 28-32.  https://ejournal.uniska-kediri.ac.id/index.php/HijauCendekia/article/view/120/100. Sabtu, 17 Februari 2024; 22:46  wib
  • Sobirin, S. (2018). Pranata Mangsa dan budaya kearifan lingkungan. Jurnal Budaya Nusantara, 2(1), 250-264.  https://doi.org/10.36456/b.nusantara.vol2.no1.a1719. Sabtu, 17 Februari 2024; 11:19 wib   Fidiyani, R., & Kamal, U. (2012). Penjabaran Hukum Alam Menurut Pikiran Orang Jawa Berdasarkan Pranata Mangsa. Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 421-436. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.3.117. Sabtu, 17 Februari 2024; 11:15 wib
  • Somya, R., & Bayu, T. I. (2013). Studi Etnografi Visual Kearifan Lokal Pranata Mangsa sebagai Perangkat Revitalisasi dan Pengembangan Model Pranata Mangsa Terbaharukan. https://repository.uksw.edu//handle/123456789/6258. Sabtu, 17 Februari 2024; 23:18 wib  
  • Wisnubroto, S. (1997). Sumbangan pengenalan waktu tradisional “pranata mangsa” pada pengelolaan hama terpadu. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 4(1), 46-50. https://doi.org/10.22146/jpti.9881. Sabtu, 17 Februari 2024; 22:53 wib 
  • Witasari, N. (2015). Astha Brata dan Pranata Mangsa: Alam dan Relasi Kuasa dalam Konteks Agraria di Jawa. Paramita: Historical Studies Journal, 25(2), 225-237. https://doi.org/10.15294/paramita.v25i2.5138. Sabtu, 17 Februari 2024; 22:14  wib
  • Venia, Susan (2020) Etnoastronomi masyarakat nelayan di Desa Bonang Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Undergraduate (S1) thesis, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Dalam https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/15945/. Dikases pada tanggal 17 Februari 2024, pukul 20.51 WIB. 
Penulis adalah Angga Hermansah, Dasun, Lasem


Lukisan garam bertajuk Bancaan Rupa yang dibuat di Desa Dasun, Lasem, Kabupaten Rembang beberapa waktu yang lalu secara resmi tercatat sebagai “Lukisan Terbesar dari Garam” oleh Museum Rekor Dunia-Indonesia.

Penganugerahan predikat rekor dunia tersebut ditandai dengan penyerahan sertifikat oleh J. Ngandri, Direktur Pelaksana Museum Rekor Dunia Indonesia di Jakarta.

"Hari ini Museum Rekor Dunia-Indonesia dengan bangga memberikan penghargaan Rekor Dunia Lukisan Garam Terbesar. Sebuah Kolaborasi Petani Garam di Desa Dasun Lasem bersama Bapak Eggy Yunaedi yang mempunyai kreatifitas membuat lukisan dengan garam yang berukuran 34 x 21 meter di Ladang Garam Dasun, Lasem. yang merupakan sebuah karya yang spektakuler. Oleh karena itu MURI mencatatkan sebagai Rekor Dunia sebagai lukisan garam terbesar," tutur J. Ngandri dari Museum Rekor Indonesia (MURI).

Hadir menerima sertifikat tersebut Eggy Yunaedi, perupa sekaligus pemrakarsa Bancaan Rupa, bersama Mulyono, Achirudin Bayu dan Angga Hermansah mewakili sepuluh petani garam Dasun yang telah berkolaborasi melukis Bancaan Rupa, didampingi Sujarwo Kepala Desa Dasun dan Exsan Ali Setyonugroho Carik Desa Dasun.

Carik Dasun, Exsan Ali Setyonugroho mengungkapkan penghargaan MURI ini merupakan momentum bagi para pemulia garam Dasun untuk terus melestarikan garam dan hidup sejahtera. Dan penghargaan bagi seluruh masyarakat dasun yang selama ratusan tahun hidup dengan hasil tambak dan garam.

“Ini adalah momentum bagi para pemulia garam Dasun untuk terus melestarikan garam dan hidup sejahtera”, ungkap Exsan.

Ia juga meminta pemerintah terus memperhatikan kesejahteraan pemulia garam dengan ikut menstabilkan harga garam yang tinggi, memberikan program pemberdayaan bagi petani garam dan memastikan kualitas air sungai yang sangat berpengaruh pada kualitas garam.

Bancaan Rupa

Bancaan Rupa adalah karya seni rupa menggunakan garam dan tambak sebagai material dan media. Lukisan garam berukuran 21 x 34 meter ini merupakan kolaborasi antara Eggy Yunaedi dengan sepuluh petani garam Desa Dasun, Lasem.

Lukisan yang akhirnya tercatat sebagai lukisan garam terbesar di dunia ini menghabiskan 4 ton garam dan dikerjakan selama 3 hari pada tanggal 16 sampai dengan 18 November 2023 lalu. Bancaan Rupa merupakan perhelatan seni yang sepenuhnya didukung oleh masyarakat dan diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Dasun, Lasem.

Inspirasi Karya dari Dua Buku Dasun

Eggy terinspirasi membuat Bancaan Rupa sebagai karya kolaborasi bersama petani garam di Desa Dasun setelah mengetahui keberadaan situs Tambak Gede dan mempelajari pengetahuan lokal dan praktek tradisi warga Dasun perihal budidaya tambak, tradisi bancaan dan pemuliaan punden dari dua buku yang ditulis oleh warga Dasun sendiri. Yakni buku Dasun: Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya ditulis Exsan Ali Setyonugroho dan buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun yang ditulis oleh Angga Hermansah.

Tambak Gede tempat berlangsungnya Bancaan Rupa ditengarai sebagai situs tambak garam tertua di pantura Jawa setelah monopoli garam oleh Hindia Belanda.

Dari kaca mata seni rupa modern karya seperti Bancaan Rupa lazim disebut sebagai environmental art, yaitu seni rupa yang menggunakan bentangan dan elemen alam sebagai media.

Oleh petani dan warga desa Dasun, karya ini dimaknai sebagai ungkapan syukur atas hasil garam pada tahun ini, sekaligus doa agar garam tetap memberi penghidupan yang baik pada mereka di tahun-tahun mendatang. Karena dimaknai sebagai bancaan, lukisan di atas tambak tersebut bisa dilihat sebagai ambengan untuk dibagikan dan dinikmati khalayak. Di dalam ambengan tersebut terdapat tujuh uborampe, berupa visualisasi empat elemen alam serta tiga elemen budaya yang mempengaruhi kehidupan petani garam di Desa Dasun. Empat elemen alam itu adalah matahari, bumi, air dan angin, adapun tiga elemen budaya yaitu jawa, budaya cina dan budaya keislaman yang divisualkan dalam bentuk gunungan; burung hong dan naga serta kubah masjid.

J. Ngandri mengatakan bahwa Museum Rekor Dunia-Indonesia memberikan penghargaan karena Bancaan Rupa merupakan karya yang spektakuper yang diharap bisa menginspirasi banyak orang untuk menghasilkan karya-karya besar.

Pada kesempatan tersebut Eggy Yunaedi, perupa yang memprakarsai Bancaan Rupa, mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas apresiasi yang diberikan oleh Museum Rekor Dunia-Indonesia dan berharap agar apresiasi ini mendorong gerakan pemajuan kebudayaan Desa Dasun sekaligus menguatkan keberadaan Tambak Gede sebagai cagar budaya. Tak lupa perupa kelahiran Rembang ini menyampaikan terima kasih kepada para petani garam yang telah berkolaborasi bersamanya mewujudkan karya tersebut. Mereka adalah: Supadi, Suparlin, Sriyono, Mulyono, Arif Yulianto, Suroso, Bisri, Mariadi, Suyoto dan Alip; juga Imam Bucah dan Sofyan Kancil. Dua yang terakhir disebut adalah pelukis yang bertindak sebagai asisten dalam proses pembuatan karya.

Mulyono, petani garam yang hadir dalam acara penyerahan sertikat Museum Rekor Dunia-Indonesia tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya. Mewakili 9 petani yang lain Mulyono menyampaikan harapapannya agar penghargaan ini bisa menarik perhatian pemerintah lebih memperhatikan petani garam utamanya dalam menjaga stabilitas harga garam dan mendukung petani-pemulia garam dengan program-program pemberdayaan.

Sementara itu Sujarwo selaku Kepala Desa Dasun yang telah mendukung dan memfasilitasi perhelatan Bancaan Rupa menyatakan bahwa Rekor Dunia Muri ini merupakan salah satu upaya Desa Dasun untuk memberi makna atas predikat Rembang sebagai kota garam. (lasem.id/exsan)

Keterangan: Artikel ini tayang pertamakali di https://www.dasun-rembang.desa.id/


Oleh Eggy Yunaedi*)

Terlahir sebagai orang Rembang barangkali adalah daya dorong utama bagi saya untuk menyoal garam. Awalnya adalah eksplorasi media dan bahan, sebuah keinginan lazim di antara para perupa untuk menjajal kemungkinan berekspresi dengan media baru. Entah kenapa bentangan tambak yang berbentuk persegi dengan permukaan halus dan rata suatu kali terlihat bak kanvas yang siap dilukis. Sedangkan warna, tektur dan karakter fisik garam memang mudah dibentuk menjadi garis, bidang dan gradasi untuk menciptakan citra dua dimensi. Keinginan membuat sebuah karya dengan memanfaatkan elemen alam yang sering dikenal sebagai environmental art tercetus tiba-tiba. Sesederhana itulah awal dari keinginan untuk melukis garam di atas tambak.

Sejak keinginan membuat environental art di tambak  itu muncul, saya jadi lebih sering mengalami perjumpaan dengan garam, entah secara fisik maupun berupa wacana melalui bacaan dan diskusi dengan orang-orang yang bersentuhan dengan garam. Garam adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Garam merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tubuh. Garam memiliki sejarah yang panjang seumur peradaban manusia. Garam adalah produk budaya yang memiliki keterhubungan dengan produk budaya lain dalam membentuk peradaban. Rembang yang memiliki predikat sebagai Kota Garam justru tidak memiliki narasi terkait dengan garam. Catatan beratarik 1832 menunjukkan bahwa garam adalah salah satu komoditi ekspor penting dari Rembang. Ada  pula Tambak Gede di desa Dasun Lasem yang ditengarai sebagai situs tambak garam tertua di daerah Rembang, bahkan mungkin di daerah pantura.

Tambak Gede di Dasun merupakan bengkok yang menjadi hak lurah atau kepala desa yang sedang memimpin. Tambak ini menyimpan sejarah yang panjang yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Dasun itu sendiri. Di dalamnya ada orang-orang yang tidak hanya menggantungkan hidupnya dari garam tapi juga mendapatkan identitasnya dari desanya yang dikepung oleh tambak garam. Mereka memuliakan dan mewarisi pengetahuan yang menubuh dalam budidaya garam. Ada punden, ada tradisi dan ritus yang hidup, ada kisah yang masih dituturkan di sekitar tambak di Dasun yang turut membangun konsepsi atas ruang hidup warganya.

Sampai di titik ini tiba-tiba saya melihat keinginan untuk membuat environmental art di atas tambak merupakan sikap yang angkuh, semena-mena, lahir dari kepicikan yang banal. Tambak bukanlah ruang kosong, sementara putihnya kristal garam tidak berarti dia steril dari anasir sekitarnya. Tambak bukan hanya entitas fisik dan alat produksi pun garam bukan sekedar komoditas. Tambak adalah ruang kultural yang memiliki pundi-pundi simbolik berlimpah, menyediakan palet warna warni untuk sebuah lukisan yang bermakna bagi warga, ketimbang bahan apapun dari luaran sana. Pun seandainya saya mencoba berempati dengan melukiskan perihal teralineasinya petani garam dalam sistem ekonomi yang kapitalistik, apa yang saya lakukan bisa jadi tak lebih dari menuang lapisan tipis minyak di atas air. Tambak garam tidak membutuhkan orang lain untuk membuat kisahnya sendiri.

Saya kehilangan keinginan mewujudkan karya saya sendiri, kacuali itu dilakukan dengan kolaborasi bersama petani dan warga setempat. Saya berkeyakinan bahwa petani garam dan warga setempat adalah pihak pertama yang punya daulat untuk berkisah lewat tambak dan garam mereka.  Mereka pula yang harus memberi makna atas kegiatan yang dilakukan. Tapi apa makna sebuah environmental art bagi petani garam? Jangan-jangan ini cuma kegenitan yang tak ada juntrungan buat mereka.

Angin mungkin lebih terlihat nyata bagi petani garam ketimbang apa itu environmental art. Namun gagasan memang suka srawung dan pada akhirnya akan menemukan jalannya sendiri. Pada sebuah diskusi beraroma kopi dan asap tembakau saya dan warga Desa Dasun menemukan motif yang sama antara praktek berkesenian dengan tradisi bancakan. Sebagai sebuah media demi terhubungnya gagasan seorang individu dengan khalayak, praktek kesenian tak ubahnya sebagai sebuah bancakan. Sejatinya bancakan adalah manifestasi doa dan ungkapan rasa syukur dengan cara berbagi secara kolektif. Bancakan adalah momen perjumpaan warga desa dengan cara berbagi, mengambil peran yang dengan demikian memantabkan posisi seseorang sebagai bagian dari semesta yang lebih luas. Manunggaling jagad gede karo jagad cilik, bersatunya microcosmos dengan macrocosmos. Begitulah petani garam dan warga dasun memaknai kegiatan ini. Kami berjabat sepakat memberi tajuk Bancaan Visual, yang kemudian berubah menjadi Bancaan Rupa.

Sebagaimana jamaknya bancaan, warga berbagi ambengan berujud hidangan makanan dengan berbagai lauk. Dalam Bancaan Rupa kali ini petani garam dan warga desa Dasun berbagi ambengan dalam bentuk sajian rupa yang bisa dinikmati khalayak. Di dalam ambengan rupa tersebut disajikan tujuh ubo rampe berupa visualisasi bumi, matahari, air dan angin serta gunungan, naga dan burung hong ser­­­ta ornamen islami. Tujuh elemen yang terdiri dari empat elemen alam dan tiga elemen budaya itu juga diwujudkan dalam tujuh kerucut garam melambangkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas alam dan budaya yang memberi penghidupan kepada petani garam maupu­­n masyarakat Dasun. Semoga di musim mendatang garam memberi penghidupan yang makin baik kepada petani dan warga desa Dasun. Kabul kajate. Amin.

*)PROFIL EGGY YUNAEDI

Eggy Yunaedi adalah perupa kelahiran Rembang, tinggal di Bekasi. Menyelesaikan pendidikan di Ilmu Komunikasi UGM, dua puluh tahun lebih Eggy bekerja di dunia kreatif sebagai creative director di beberapa agensi multinasional, dan memenangkan puluhan penghargaan nasional maupun internasional, seperti di ajang Citra Pariwara, Asia Pacific Advertising Festival, Spike Asia Award dll. Eggy kini lebih banyak bekerja sebagai perupa dan  pegiat kebudayaan. Pada saat ini Eggy menjadi Panel Ahli Platform Kebudayaan Indonesiana, Ditjenbud Kemendikbudristek RI.

­­Selain kerap melakukan aksi speed painting, Eggy juga  sering melakukan aksi seni rupa di ruang publik dalam skala besar , di antaranya adalah “Melangitkan Doa” yang turut memeriahkan Harlah 1 Abad NU di Sidoarjo beberapa waktu yang lalu. Karya tersebut dicatat oleh Museum Rekor Muri sebagai display doa terbanyak dan terbesar di dunia. Karya Eggy dalam skala raksasa yang lain adalah lukisan berjudul “Suluh Samin” yang dibuat dari 2000 obor pada peringatan 1 abad perjuangan Samin Surosentiko.

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto


Oleh Heru Hikayat*

Seni sesungguhnya kerdil di hadapan alam. Seni adalah ciptaan manusia, sementara alam adalah ciptaan Sang Maha Pencipta. Manusia pun mencipta seni dengan belajar pada alam, artinya belajar pada Sang Pencipta. Datanglah masa modern, yang membuat manusia merasa perlu menujukan segala sesuatu pada dirinya, maka seni pun dibikin seolah “otonom” terpisah dari alam.

Keyakinan akan seni yang “otonom” tampak dari konvensi ruang seni. Baik gedung pertunjukan maupun galeri seni rupa dirancang agar seni dapat tampil dalam wajah terbaiknya. Unsur-unsur alam dihambat, sinar matahari atau suara-suara alami tak dibiarkan “bocor”. Ruang seni harus steril. Manusia tidak dapat mengendalikan sinar matahari ataupun suara alami; sementara di ruang seni, unsur cahaya, suara, perwujudan, semuanya harus dalam kendali manusia.

Dalam wilayah seni rupa, galeri berwujud kubus putih. Di bidang seni pertunjukan, ada panggung proscenium. Keduanya sama: pertama, membuat penonton dan apa yang ditonton berjarak. Kedua, karya seni diandaikan hadir sepenuhnya dalam wajah terbaiknya. Inilah konvensi ruang seni.

Pada perjalanannya kemudian, muncul gerakan seni yang menentang kekakuan ruang-ruang tersebut. Seni lingkungan (environmental art) adalah salah satunya. Karya seni kadang begitu besar hingga tak dapat ditampung dalam galeri. Tapi prinsip dasarnya adalah, seni dikembalikan pada alam.

Kita pun patut ingat, di luar ranah seni modern, seni pertunjukan terbiasa dengan ruang yang tak-memisahkan-antara-penonton-dan-yang-ditonton. Pada ruang-ruang terbuka, peristiwa seni adalah juga keseharian.

Risikonya, seni di tengah alam, tentu harus berhitung dengan sangat banyak hal di luar kendali manusia.

* * *

Ada satu istilah keilmuan yang kerap dikaitkan dengan seni, yakni estetika. Estetika, sebagian mengartikannya sebagai “ilmu tentang keindahan”; sebagian lagi mengartikannya “filsafat seni”. Dalam kedua pengertian ini, estetika hampir selalu dikaitkan dengan seni. Ada pengertian lain yang lebih mendasar, estetika adalah hal-ihwal pencerapan. Dalam pengertian ini, estetika tidak melulu perkara seni; tapi akan mudah mengaitkannya dengan alam.

Saat manusia berada di hadapan (atau di tengah) kebesaran alam, bisa dipastikan manusia itu dibuat terkesan; mungkin kagum, mungkin terharu, atau merasa kerdil, bahkan merasa terancam. Karena demikianlah alam: ia begitu agung, penuh kekuatan, mengayomi sekaligus mengancam. Letusan gunung berapi memusnahkan sekaligus menjadi basis kehidupan bagi banyak makhluk. Di alam, kekuatan penghancur adalah sekaligus daya yang merawat, menghidupi.

Cara terbaik bagi seni adalah selalu belajar pada alam, dalam pengertian, seni selalu membutuhkan cara untuk menggugah, untuk memantik kesan yang mendalam. Karya seni yang baik adalah karya seni yang terus-menerus ditafsirkan, artinya karya seni harus menarik perhatian para penafsir yang produktif. Proses ini hanya bisa dimulai jika pemirsanya tergugah. Tentu saja ada sejumlah faktor lain yang berpengaruh, termasuk perputaran modal dan aspek politik; tapi untuk diskusi kita kali ini, lebih mudah jika kita fokus pada aspek yang membuat sebuah karya seni menggugah.

Konvensi ruang seni dirancang sedemikian rupa agar mengoptimalkan daya gugah itu. Dan ternyata strategi mendasar dari rancangan ini adalah dengan membuat segala sesuatunya bisa dikendalikan oleh manusia. Ada sebagian di antara kita yang memiliki keterampilan menata cahaya. Ia sedemikian terampil mengolah pencahayaan dalam sebuah ruang. Pada kesempatan ini, hal yang hendak digaris-bawahi adalah, keterampilan semacam itu mensyaratkan batas-batas ruang yang mudah dikenali. Batas itu adalah platform (pijakan) di mana karya seni hadir, melenggang-menampilkan-dirinya.

Di tengah keluasan alam, batas itu tak ada. Di tengah alam, manusia kerdil.   

Jika sekelompok orang memutuskan membuat karya seni di ruang terbuka, maka mereka sesungguhnya tengah menyongsong sejumlah risiko. Dilihat dari kacamata seni modern, risiko-risiko ini sungguh tak masuk akal. Tapi jika kita hendak menggeser sudut pandang, barangkali masih ada wilayah-wilayah “tradisi” atau paling tidak kekerabatan komunal yang memungkinkan risiko-risiko itu dikelola. Dugaannya, pada gaya hidup yang masih mampu mempertahankan watak tradisionalnya, risiko hidup di tengah alam diposisikan sebagai keniscayaan belaka. Sementara seni, kadung selalu berangkat dari konteks tertentu. Maka, cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan berupaya sebijak mungkin memahami konteks di latar belakang tersebut.

Apakah di masa kini seni masih punya daya untuk menggugah? Saya menuliskan ini dengan mempertaruhkan kepercayaan: Ya, seni masih mampu menggugah. Bagaimana caranya? Inilah yang dapat menjadi bahan diskusi kita.

Bandung, 15 November 2023

*)PROFIL HERU HIKAYAT

Heru Hikayat adalah alumnus FSRD ITB, bekerja sebagai kurator seni rupa dan aktif dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan budaya, juga menulis ulasan seni, esai, dan obituari ke berbagai media.

Sejak 2018 Heru menjadi tim ahli Platform Indonesiana--sebuah jejaring kerjasama festival kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek RI. Platform Indonesiana adalah salah satu program yang diinisiasi untuk menerapkan Undang-Undang No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Sejak 2018 pula Heru menjadi anggota Koalisi Seni. Koalisi Seni adalah perkumpulan yang mengkhususkan diri pada advokasi kebijakan di bidang kesenian, dengan anggota tersebar di seluruh Indonesia.

Sejak 2020 Heru menjadi in-house curator Selasar Sunaryo Art Space, sebuah lembaga yang berfokus pada pengembangan seni rupa kontemporer secara khusus, kebudayaan visual secara umum, di Bandung.

Heru terlibat dalam banyak penyelenggaraan kegiatan, di antaranya: Bandung Art Now, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Jatiwangi Artists in Residence Festival, Majalengka, Jawa Barat; Bandung Art Now, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Seni Bandung#1—A Collaborative Arts Event, Bandung, Jawa Barat; Festival Seni Multatuli, Lebak, Banten; Foho Rai Festival, Belu, Nusa Tenggara Timur; Cerita dari Blora, Jawa Tengah; Palu Salonde Percussion, Sulawesi Tengah; Asiatopia Performance Art Festival, Bangkok Thailand; Edinburgh International Culture Summit, UK; Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM), Candi Prambanan, Jawa Tengah; International Forum for Advancement of Culture (IFAC),  Jakarta.  

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/dari-kubus-putih-ke-tambak-garam


Oleh Kris Budiman*

Apabila seseorang meluncur di poros horisontal, dari kota Rembang menuju Lasem atau sebaliknya, tampak di matanya tambak-tambak garam. Terpaan visual ini, sungguh, tiada terhindarkan oleh sesiapa yang melintas. Bahkan, andai dia mampu meluncur tegak lurus dengan langit, setidak-tidaknya melambungkan imajinasi secara vertikal, terlihat bahwa tambak-tambak ini memberikan aksentuasi warna distingtif bagi lukisan bentang alam dan lingkungan yang lebih luas. Bidang-bidang putih atau bagai kaca, yang memantulkan terik di sepanjang garis pantai, menjadi indeks bagi keberadaan tambak-tambak itu. Petak-petaknya menandai tepi tanah dan teluk, gunung dan semenanjung. Sanggupkah dia menghindar dari visualitas yang sangat wantah ini?

Apa yang disebut sebagai visualitas, kendati demikian, bukanlah semata produk tindakan retinal-fisiologis (menggunakan mata), melainkan terutama wacana sosial yang bermakna, dapat diberi makna. Secara historis warga Lasem telah terus-menerus, berbilang abad lamanya, memberi makna bagi bentang alam ini, sedemikian sehingga ia menjelma sebagai bentang budaya (cultural landscape). Posisi geografis Lasem, yang tersedia sebagai sebuah kawasan ideal bagi kapal dan perahu untuk berlabuh, sebab terlindung dari gelombang dan angin kencang, merupakan salah satu faktor paling signifikan dalam membangun sistem budaya dan sosialnya.

Komposisi bentang alam yang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan, dengan sumberdaya alam dan lingkungannya masing-masing, sukar dimungkiri, berkontribusi besar bagi bentang budaya dan kehidupan sosial Lasem, termasuk ekonominya. Sebagai sebuah kota pesisir, komoditas yang diperdagangkan tentu mencakup produk-produk yang variatif. Dari kawasan pantainya, antara lain, dihasilkan garam. Namun, Lasem pada khususnya dan Rembang pada umumnya kurang dikenal sebagai “kota garam” dalam sejarah. Tome Pires, misalnya, melaporkan dalam Suma Oriental bahwa Ramee (baca: Rembang) lebih dikenal sebagai negeri (penghasil) beras dan kayu, alih-alih garam.

Kajian Kwee Hui Kian, The Political Economy of Java’s Northeast Coast, c. 1740-1800: Elite Synergy (2006), menunjukkan bahwa garam ― baik diusahakan warga lokal atau monopoli pemerintah kolonial ― merupakan komoditas baru yang potensial semenjak dekade-dekade awal abad XVIII. (Ingat: tambak Tan Ke Wi di Lasem.) Dalam bingkai yang lebih besar, dia juga menyodorkan gambaran tentang bagaimana pada paruh kedua abad XVIII komoditas-komoditas utama, antara lain produk alam seperti garam dan sarang burung; produk pertanian seperti beras, kacang-kacangan, kapas, tembakau, lada, kapulaga, asam, dan ketumbar; produk hutan seperti kayu; serta produk pabrikan (manufactured goods) seperti gula kelapa, benang, dan kain, telah meramaikan Lasem dan kota-kota pelabuhan lainnya di Pesisir Timur-Laut Pulau Jawa.

“Garam adalah sebuah keniscayaan,” ujar Eggy Yunaedi, penggagas Bancakan Rupa. Sulit untuk membantahnya. Tiada kurang peribahasa dan perumpamaan yang menekankan ini. Selain terhubung dengan produk-produk budaya lain, garam niscaya bersentuhan secara resiprokal dengan dunia masak dan, dengan demikian, praktik makan dan makanan. Hingga hari ini, tradisi (Jawa) tertentu masih mengenal satu genre makanan yang bernama ambengan dan mempraktikkan santap sosial (social meal), berbagi makanan, dalam format bancakan. Bancakan adalah bagian penting dari slametan, ritual dasar masyarakat Jawa. Melalui bancakan inilah warga menikmati, bersantap-bareng, hidangan khas ambengan yang tersaji di atas lembar daun pisang atau tampah-tampah.

Bentang “lukisan” yang dikerjakan Eggy Yunaedi ― sebuah kerja kolaboratif dengan para petani garam dan warga Desa Dasun ― menyiasati media garam di atas “kanvas” Tambak Gede, yang sudah beroperasi sejak 1940-an. Peranti (ubarampe) yang ditonjolkan tersusun atas elemen-elemen alam spesifik: bumi (tanah) dan laut (air); udara (angin) dan matahari (api). Keempatnya direlasikan lebih jauh dengan tiga elemen konstitutif budaya Lasem: kejawaan, ketionghoaan, dan keislaman. Keseluruhan peristiwa yang menyajikan ambengan metaforis ini diwadahi dalam Bancakan Rupa. Oleh karena itu, mau tidak mau, konteks situasional dari peristiwa ini adalah kenduren atau slametan, di samping konteks historis yang sudah dipaparkan barusan.

Slametan tergolong sebagai ritus intensifikasi lantaran fungsi integratifnya, yaitu untuk mengafirmasi-ulang jaringan sosial, mengumpulkan warga dalam kebersamaan. Dalam ritual ini kerap berlangsung praktik perputaran pemberian, semisal bancakan. Di sini makanan yang tersaji sebagai ambengan menempati posisi simbolis dominan, menjadi pusat peristiwa. Bahkan para partisipan ritual masih bisa membawa pulang hidangan yang tersisa untuk berbagi dengan keluarganya. Ritual ini, meminjam kata-kata Clifford Geertz (1973: 142) dalam kitab klasiknya, The Interpretation of Culture (1973: 142), berperan untuk “reinforce the traditional social ties between individuals; strengthened and perpetuated through the symbolization of the underlying social values upon which the social structure is rest.”

Sebagai sebuah ritual, singkatnya, ia tiada lain daripada sejenis perjamuan yang berdampak solidaritas. Melalui proses ritual dasar ini rasa komunitas (a sense of community) ditekankan, solidaritas dikuatkan. Semua memperoleh berkat, ketenangan jiwa dan raga (slamet). Semuanya, tanpa kecuali, sebab tiada seorang pun merasa dirinya dibedakan dari yang lain. Setiap orang adalah sesama.

“Quiet, undramatic little ritual.” Demikian Geertz (1973: 147) menarik simpul bagi ritual ini. Tidak dramatis, katanya. Padahal, baik di dalam antropologi performans maupun kajian seni pertunjukan, sering dinyatakan bahwa ritual tidak mudah diperbedakan dari teater. Batas di antara kedua genre ini tipis saja: di satu sisi terdapat teater yang “menghibur,” menyenangkan; di sisi lain ritual yang “mujarab” (efficacious), berorientasi pada kepercayaan. Apa yang dikategorikan sebagai ritual selalu tertuju kepada problem eksistensial; memberikan artikulasi simbolis dan tematisasi hubungan di antara jagat duniawi (sosial) dan rohani (spiritual).

Pernyataan Geertz itu, dengan kata lain, seakan berseberangan dengan Rendra yang pernah mementaskan drama Selamatan Anak-Cucu Sulaiman. Tidak bisa dikatakan bertentangan, sesungguhnya. Pementasan Bengkel Teater Rendra justru dapat terjadi berkat kecerdasan kreatif dalam menyiasati ketidakdramatisan ritual tersebut. Harapan kita, berkaitan dengan peristiwa Bancakan Rupa, Eggy Yunaedi yang berkolaborasi dengan para pemulia garam dapat mentransformasi “Rewang Ambengan” sebagai media seni visual yang dinamis. Sebagaimana slametan yang tak-dramatis itu dapat berubah dramatis di tangan yang tepat, peristiwa Bancakan Rupa pun diharapkan dapat berkontribusi sebagai faktor dinamis, menjadi garam bagi lingkungan dan budaya Lasem.

*)PROFIL SINGKAT KRIS BUDIMAN

Kris Budiman, penulis yang berminat pada seni rupa, budaya visual, sastra, dan kepurbakalaan. Doktor di bidang kajian budaya ini selama tiga tahun terakhir menerbitkan beberapa buku: Blues Rindu (2020, terjemahan atas puisi-puisi Langston Hughes) dan Tatanan Wacana (2022, terjemahan atas esai Michel Foucault, “The Order of Discourse”). Novel terbarunya, Hierofani: Sebuah Fiksi Perjalanan (2023), segera terbit. Sejak 2013 menjadi kurator tetap di Sangkring Art Space, Yogyakarta.

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/bancakan-rupa-konteks


Seringkali masyarakat umum memandang budaya identik dengan ritual, pakaian adat, tarian dan bahasa yang dituturkan. Namun budaya tak cukup sampai di situ karena ia melekat pada diri yang menjelma menjadi sebuah rutinitas di sekeliling kita. Interaksi yang terbentuk antara manusia dengan alam menjadi kunci bahwa budaya memiliki ruang lingkup yang luas. Dalam perjalanannya, interaksi yang mengakar dalam kurun waktu yang lama tersebut sekarang mulai tergerus oleh pengaruh budaya luar yang masuk secara massif lewat teknologi komunikasi dan informasi. Situasi ini merongrong jati diri bangsa dengan kebudayaan masa kini. Dalam konteks inilah kita perlu mewaspadai bagaimana kuasa budaya (!) mulai menggeser jati diri kita sebagai bangsa yang besar dengan budaya maritim yang kuat yang diturunkan oleh nenek moyang kita.

Setiap desa di Indonesia adalah mikrokosmos dari kebudayaan nasional. Di sana dapat dijumpai akar budaya bangsa Indonesia.. Desa Dasun salah satu desa yang berlokasi di pesisir utara Pulau Jawa,. Desa yang berada di tepi laut Jawa ini memiliki kecondongan kepada masyarakat berbasis aktivitas kemaritiman. Ragam aktivitasnya dibangun dan bertaut dengan elemen air. Keseharian mereka digerakan dari potensi air dengan menjadi nelayan, petani garam, dan budidaya bandeng. Aktivitas ini berlangsung sejak dahulu hingga sekarang. Mereka telah mampu mempertahankan kemampuan sistem sosial sebagai masyarakat yang didominasi oleh potensi air.

Salah satu yang perlu kita bahas yaitu aktivitas membuat garam (sareman). Petani garam Desa Dasun melakukan produksi garam secara musiman. Produksi garam yang memanfaatkan panas matahari pada musim kemarau ini berlangsung pada bulan Juni-Oktober. Garam yang di produksi oleh petani tambak desa Dasun memiliki dua jenis, yaitu garam krosok dengan media tanah dan garam membran. Garam krosok yang menggunakan media tanah memiliki kualitas dibawah garam membran. Garam krosok dihasilkan dari pengolahan air garam dengan media tanah tambak. Kualitas garam krosok yang dihasilkan dengan menggunakan media tanah tergantung dari lama penggunaan media tanah untuk memproduksi garam. Media tanah yang pertama kali memproduksi garam setelah proses pengurasan dan pengerasan tanah (media prawan) akan menghasilkan garam berkualitas baik. Namun kualitas garam akan mengalami penurunan jika medianya sudah digunakan 2-4 kali, terutama jika tidak dilakukan pengurasan dan pengerasan kembali.

Media produksi garam lain yang biasa digunakan oleh petani garam di Desa Dasun adalah media membran (terpal hitam). Pembuatan garam jenis ini menggunakan bantuan terpal hitam sebagai alas. Penggunaan media terpal hitam dapat menghasilkan garam berkualitas baik karena tidak adanya butiran tanah yang tercampur dalam garam. Pemanfaatan media ini bisa menghemat tenaga yang dikeluarkan petani karena mereka tidak perlu mengeraskan media tanah terus menerus dan menguras air secara berkala. Pengerasan tanah hanya dilakukan di awal saat pembentukan media terpal. Dengan demikian, efektivitas penggunaan media ini menghasilkan jumlah produksi yang maksimal.

Harga jual garam yang tidak stabil pada setiap tahunnya menjadi problem mendasar bagi petani garam. Pergerakan harga garam yang naik turun berpengaruh pada semangat petani garam dalam proses produksi. Produksi garam yang bersifat musiman ditambah tidak stabilnya harga garam memunculkan masalah baru berupa sulitnya regenerasi bagi kaum muda untuk terjun menjadi petani garam. Alih-alih menjadi petani garam, mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik yang memiliki gaji stabil. Kasus semacam ini bukan hanya terjadi di Desa Dasun, tapi juga hampir di setiap daerah.

Pembuatan garam rakyat Desa Dasun masih menggunakan teknik tradisional. Mereka mengambil air laut lalu dilakukan penguapan alami dengan sinar matahari (solar evaporation). Proses itu dimulai dari penanganan pemasukan air laut hingga pemanenan garam. Beriringan dengan hadir dan digunakannya teknik pembuatan garam semi modern, petani garam tradisional Desa Dasun masih tetap bertahan. Mereka memproduksi garam dengan teknik tersebut di atas tambak miliknya sendiri yaitu tambak garam warisan dari generasi sebelum mereka.

Sebagai bagian dari warisan sejarah petani garam di Desa Dasun, teknik pembuatan garam secara tradisional ini masih digunakan hingga sekarang. Dipandang dari pendekatan budaya, ia berfungsi sebagai memori budaya yang setia menjaga ketahanan sistem mata pencaharian petani garam. Cara produksi pembuatan garam yang ramah ini telah menjadi ruang pewarisan pengetahuan dari generasi ke generasi.

*) Angga Hermansah, Warga Desa Dasun sekaligus Penulis Buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

Sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/garam-warisan-pengetahuan-dari-masa-ke-masa

Foto MPI dalam https://img.inews.co.id/media/822/files/inews_new/2023/09/06/ade_darmawan.jpg
Oleh: Angga Hermansah* 

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kata “pemajuan kebudayaan” sendiri jarang bahkan minim terdengar oleh telinga masyarakat, lebih khusus masyarakat desa. Baru nama pemajuan kebudayaan mulai muncul dibicarakan di publik ketika Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi meluncurkan program Pemajuan Kebudayaan Desa pada awal tahun 2021. Sebelumnya mulai tahun 2017 sejak disahkan  sampai tahun 2020 pemajuan kebudayaan belum begitu dikenal apalagi mampu bergaung untuk mengimbangi pemberitaan nasional lainnya.

Pada pelaksanaan Program Pemajuan Kebudayaan terdapat kurang lebih 360-an yang terpilih menjadi desa pemajuan kebudayaan tahun 2021 dan berkurang menjadi 230 desa pada tahun 2022 & 2023. Untuk mempermudah pendampingan terhadap desa-desa, pada tahun 2021 Direktorat Kebudayaan melalui Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya membentuk pendamping kebudayaan desa (Daya Desa) yang berperan sebagai pendamping / fasilitator / penghubung informasi terhadap desa penerima program. Dan saya termasuk bagian dari itu, menjadi Daya Desa tepatnya Daya Desa Dasun kecamatan Lasem kabupaten Rembang. 

Tahun 2021, tepatnya bulan November ratusan desa penerima program menggelar kegiatan pemanfaatan secara serentak. Mulai dari festival, pasar budaya, workshop, ritual, dan berbagai ragam pentas budaya desa lainnya yang dipilih oleh masyarakat desa untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Saat itu, mengingat masih dalam masa transisi pandemi, namun berhasil menyelenggarakan kegiatan kebudayaan di seluruh daerah Indonesia. Namun sayang, dari satu televisi nasional pun tidak melirik atau tertarik untuk menayangkan pemberitaan pemajuan kebudayaan yang jelas-jelas sebagai bentuk transformasi budaya dalam menghadapi percepatan pertumbuhan ekonomi dan teknologi negara-negara dunia. Lantas, apakah ada tahapan yang terlewat, sampai-sampai indikatornya ada yang tidak tercapai. Bukankah dalam era budaya layar, pentas budaya desa adalah sebuah hal yang layak menjadi trending topik dalam layar kaca?

Selanjutnya, tahun 2022 desa-desa penerima program berkurang secara drastis yang awalnya 360-an desa hanya tersisa 230 saja. Hal tersebut menandakan telah dilakukannya evaluasi terhadap program yang berjalan di tahun sebelumnya. Dan saya kira ada hal-hal baru yang ditawarkan pada tahun ini. Menjajaki tahun kedua, setiap desa membuat rencana jangka panjang mengenai pengembangan dan proses pemanfaatan budaya yang nantinya akan menjadi pedoman bagi desa dan mampu menjadi daya (kekuatan) bagi desa dalam bidang kebudayaan. Saya kira akan seperti tahun sebelumnya setiap desa akan melaksanakan kegiatan pemanfaatan dengan kualitas dan skala kegiatan yang lebih besar agar mampu menggaung dalam ruang komunikasi publik sosial budaya di masyarakat. Ternyata dugaan saya salah, hanya desa-desa terpilih atau yang dipilih yang diberi sokongan dalam menyelenggarakan kegiatan pemanfaatan. Dengan situasi tersebut muncul sebuah pertanyaan, apakah tahun ini gaung pemajuan kebudayaan akan sampai di penjuru Indonesia? Ternyata sama, tidak lebih baik dari tahun sebelumnya.

Harapan baru muncul pada tahun 2023 ini, desa mendapat angin segar. Tahun ini ada kegiatan pemanfaatan yang terbagi dalam beberapa kategori antara lain ; festival, pasar budaya, pembuatan buku, film/video dokumenter, revitalisasi sanggar, pembuatan website, sekolah budaya, perpustakaan, desain produk, travel pattern,dan workshop. Setiap desa berlomba-lomba menyusun konsep kegiatan, susunan kepanitiaan dan juga rencana anggaran biaya yang nantinya diusulkan kepada Direktur Kebudayaan melalui Daya Desa. Waktu selalu berputar, sudah mulai tahap revisi dan pematangan konsep kegiatan, dan ada juga desa-desa yang sudah menghubungi berbagai stakeholder serta penetapan kepanitiaan. Namun apa yang terjadi, tak ada angin tak ada hujan, kegiatan pemanfaatan yang seharusnya diterima oleh 230 desa diputuskan hanya sebanyak 33 desa dengan kategori yang telah ditentukan. Dan desa lainnya yang belum mendapatkan kesempatan pemanfaatan dialihkan untuk difasilitasi pembuatan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD).

Dari informasi yang saya terima, alasan mendasar terjadinya perubahan ini dilatarbelakangi evaluasi yang telat, yang dilakukan oleh Tim Pelaksana. Bukan berniat memojokkan satu pihak, karena keterlambatan evaluasi tersebut membuat kekecewaan ratusan masyarakat desa yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga di sela-sela aktivitas kesehariannya untuk berkontribusi dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan. Walaupun benar hasil evaluasi yang dilakukan menunjukkan gaung pemajuan kebudayaan selama ini belum menggema, serta komunikasi publik yang dingin dari setiap kegiatan desa untuk mengangkat pemajuan kebudayaan pada masyarakat yang lebih luas. Ditambah cenderung rampingnya jumlah penerima dana pemanfaatan, dan digemukkannya anggaran tiap desa yang menerima, apakah menjamin gaung pemajuan kebudayaan akan berlayar di seluruh wilayah Indonesia? Atau bahkan “mlempem” dan sama seperti dua tahun sebelumnya? Padahal program sudah di ujung jalan. 

Harapan pun berlabuh dalam kegiatan kongres kebudayaan. Dalam benak saya, masalah tipisnya gaung pemajuan kebudayaan di tingkat desa ini diangkat dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang berlangsung selama 23-27 Oktober 2023. Namun sayang, dalam kongres yang memaklumatkan kebudayaan sebagai daya transformasi keIndonesiaan ini, diskursus tentang gaung pemajuan kebudayaan masih jauh api dari panggang. Masyarakat desa tidak menggubris berlangsungnya kongres kebudayaan. Bahkan sepuluh maklumat yang dihasilkan dalam kongres kebudayaan, seakan tidak direspon. Deretan maklumat yang membela keragaman sosial budaya yang diyakini mampu membela pemajuan bangsa, perhatiannya publik kalah jauh dengan menanti deretan maklumat pengadilan memutus umur penguasa. 

Menengok hasil Kongres Kebudayaan Indonesia pada poin pertama dan kedua.

“Kebudayaan sebagai daya utama dalam transformasi ke-Indonesiaan merupakan hasil kesepakatan yang terus menerus berproses untuk mengolah dan mengembangkan keanekaragaman dan kekayaan hayati dan budaya dalam mengurangi perubahan global multi-dimensi”

“2024-2029 merupakan babak penting dalam meletakkan pemajuan kebudayaan sebagai dasar publik, dan sekaligus panduan transformasi ekonomi, sosial dan ekologi, melalui tata kelola yang sehat , dan kerja para pelaku  dan pandu-pandu budaya pada berbagai bidang , tingkatan dan sektor. Visi Indonesia 2045 mempersyaratkan terbentuknya pandu-pandu yang berbudi-daya dan berdaya-budi pada babak ini”

Melihat dari dua poin diatas terlihat bahwa kebudayan akan menjadi bahan baku transformasi di berbagai lini yang sebelumnya sudah ditopang oleh gerakan pemajuan kebudayaan. Transformasi bisa terjadi jika terdapat tiga faktor pendukung yaitu kebijakan, partisipasi masyarakat, dan kebutuhan/pasar. Padahal jika ditarik kebelakang pada program pemajuan kebudayaan, masih banyaknya masalah-masalah yang terjadi di tingkat desa khususnya tidak terjalinnya komunikasi yang intens antar daya desa dan pihak desa serta minimnya kontribusi anggaran dari desa terhadap program. Mungkin hanya sekian desa yang dengan senang hati dan antusias menggelontorkan dana desanya untuk pengembangan potensi budaya melalui pemajuan kebudayaan. Saya sendiri mulai ragu, kebudayaan menjadi daya transformasi keIndonesiaan,  akan berjalan mulus. 

Terlebih, kalau dilihat kasat mata, memang banyak desa-desa yang menggelontorkan anggarannya untuk event kebudayaan. Namun kalau dianalisis lebih dalam lagi kegiatan /event yang dilaksanakan memang sudah berlangsung sejak lama sebelum adanya program pemajuan kebudayaan diluncurkan. Dan kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi yang dilaksanakan setiap tahunnya. Ditambah lagi, kata pemajuan kebudayaan tidak muncul ataupun menggaung dalam kegiatan-kegiatan di desa. Bahkan, keberadaan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD) yang diharapkan menjadi acuan pembangunan desa dalam bidang kebudayaan, pemajuan kebudayaan akan mengakar kuat di ruang interaksi masyarakat ataukah sebaliknya, dokumen tersebut hanya menjadi produk formalitas saja di penghujung jalan saja. Apalagi, melihat masalah internal di tingkat desa yang belum selesai, dimana sedikit sekali adanya dukungan Kepala Desa terhadap Daya Desa dalam hal kontribusi anggaran .

Memperbincangkan kebudayaan menjadi daya transformasi keIndonesiaan memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Firasat saya, jangan-jangan, program pemajuan kebudayaan belum mampu merebut ruang rindu dari masyarakat. Jangan-jangan, mental nerabas itu masih bersemayam dalam diri orang-orang yang mengaku masyarakat berbudaya. Sebagai autokritik diri saya dan teman-teman Daya Desa lainnya, jangan-jangan pendekatan kita selama ini hanya mengutamakan budaya layar saja. 

Mari bersama-sama saling memancarkan peran maju bersama kebudayaan kita. Tetap jeli dan tidak salah langkah dalam menjadikan budaya menjadi daya utama transformasi sosial dan ekonomi. Nilai-nilai pemajuan kebudayaan memang sudah tepat untuk menghidupi keberlangsung kebudayaan. Dan tak lupa strategi dan tahapan  perlu diperhatikan karena itu sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. 

* Penulis adalah Daya Desa dan Penulis Buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun
Berkas Foto: Foto milik MPI dalam https://img.inews.co.id/media/822/files/inews_new/2023/09/06/ade_darmawan.jpg


 

Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya Achmad Sholeh Syariffudin, pemuda Desa Dasun,  selama saya mengikuti dan perperan dalam komunitas DHS (Dasun Heritage Society) komunitas ini sangat berperan aktif dalam menjaga dan mempertahankan sejarah serta budaya di Desa Dasun. Setelah pengukuhan tahun 2016, DHS mulai bergerak bersama karangtaruna Desa Dasun untuk mengidentifiksi sejarah dan budaya di Desa Dasun.  Terlebih lagi,  dengan adanya dukungan penuh dari pemerintah Desa Dasun semakin semangat teman-teman dari komunitas DHS dalam menjaga sejarah dan budaya desanya. Kegiatan yang dilakukan oleh DHS dengan di dukung Pemerintah Desa Dasun mulai kegiatan gelar budaya yang dilakukan setiap tahun yang berguna untuk memperkenalkan kembali budaya desa serta  menarik pengunjung datang ke desa Dasun, pembersihan sungai Desa Dasun dari sampah agar saat susur sungai dengan wisatawan  terasa nyaman, menyelipkan permainan tradisional pada saat lomba HUT RI, serta mendokumentasikan kegiatan yang mempunyai unsur budaya agar tidak dilupakan, dan masih banyak lagi kegiatan DHS yang sudah menjadikan Desa Dasun masih menjaga sejarah dan budaya yang ada.


Saya masih ingat betapa semangatnya teman-teman DHS pada saat membantu mas eksan, penulis buku pertama Desa Dasun yang berjudul “Dasun Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya”  dalam mencari informan, mencari dokumentasi terkait sejarah Desa Dasun dan juga jerih payah mas eksan dan teman-teman DHS  sehingga buku pertama Ini sebuah buku yang dicari oleh banyak orang terutama orang-orang sejarawan. Kekompakan teman-teman DHS dan juga karangtaruna Desa Dasun bukan hanya disitu saja, tetapi pada saat desa dipanggil ke jakarta untuk mewakili Kota Rembang dalam program Desa Budaya, DHS pun sanggup untuk melakukan identifikasi terkait kebuadayaan yang ada di desa dasun, Angga hermasnyah selaku daya desa yang mana juga ikut dalam DHS megulik dan mencari informan yang berkaitan dengan kebudayaan Desa Dasun. Angga dan komunitas DHS ini mendokumentasi setiap wawancara dan juga kegiatan kebudayaan desa dasun, mulai dari mata pencaharian tradisional, tradisi Desa Dasun, permainan tradisional, ritus hidup Desa Dasun, Alat-Alat tradisional, pengobatan tradisional, masakan khas desa, Laesan dan kanung, serta sumur dan rumah warga semua didokumentasi dan menjadi sebuah buku kedua Desa Dasun yang berjudul “ Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun” yang ditulis oleh Mas Angga dan dibantu oleh teman-teman DHS. 


Kekompakan DHS dalam memperkenalkan kembali kebudayaa Desa Dasun juga tidak main-main, dalam program pemajuan kebudayaan desa dari KEMENDIGBUDRISTEK , DHS membuat miniatur kebudayaan yang mana  bisa dikenalkan langsung kepada anak-anak Desa Dasun dan dipamerkan setiap ada kegiatan desa. Berkat adanya Festival Bandeng mrico yang dijalankan oleh DHS, daya warga dan warga Desa Dasun di pantai Dasun bukan hanya sekedar mendatangkan wisatawan untuk datang ke pantai tetapi adanya festival bandeng mrico ini membuktikan bahwa Desa Dasun bukan hanya akan kaya dengan sejarah tetapi juga kaya dengan budayanya yang memamng patut di pertahankan.


Untuk saya, selaku pemuda Desa Dasun, DHS harus tetap ada disetiap pergerakan pemuda Desa baik dalam ruang lingkup kepemudaan atau acara-acara Desa,agar bisa menyelipkan informasi kebudayaan ataupun sejarah yang ada di Desa Dasun, tetap menjaga kekompakan, tetap menjaga sejarah dan budaya Desa bahkan harus bisa membawa informasi sejarah dan budaya di khalayak umum.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Penulis adalah Achmad Sholeh Syarifudin, Anggota Komunitas DHS Dasun

Contact Me

Contact With Me

Sejak awal berdirinya Dasun Heritage Society (DHS), Desa Dasun memiliki beragam kegiatan kreatif dalam melestarikan potensi alam dan budayanya. Mulai dari pendataan potensi, pembuatan film dokumenter, peningkatan literasi melalui perpustakaan, dukungan kegiatan kebudayaan, sampai penyusunan buku. Dasun Heritage Society (DHS) selalu menjadi yang terdepan mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan warisan Desa Dasun.

  • Desa Dasun, RT 03/RW 01, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang
  • +62 895-4124-99678
  • pusakabaharidasun@gmail.com
  • https://pusakadasun.blogspot.com/