garam

My Blog

Latest blog


Oleh Eggy Yunaedi*)

Terlahir sebagai orang Rembang barangkali adalah daya dorong utama bagi saya untuk menyoal garam. Awalnya adalah eksplorasi media dan bahan, sebuah keinginan lazim di antara para perupa untuk menjajal kemungkinan berekspresi dengan media baru. Entah kenapa bentangan tambak yang berbentuk persegi dengan permukaan halus dan rata suatu kali terlihat bak kanvas yang siap dilukis. Sedangkan warna, tektur dan karakter fisik garam memang mudah dibentuk menjadi garis, bidang dan gradasi untuk menciptakan citra dua dimensi. Keinginan membuat sebuah karya dengan memanfaatkan elemen alam yang sering dikenal sebagai environmental art tercetus tiba-tiba. Sesederhana itulah awal dari keinginan untuk melukis garam di atas tambak.

Sejak keinginan membuat environental art di tambak  itu muncul, saya jadi lebih sering mengalami perjumpaan dengan garam, entah secara fisik maupun berupa wacana melalui bacaan dan diskusi dengan orang-orang yang bersentuhan dengan garam. Garam adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Garam merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tubuh. Garam memiliki sejarah yang panjang seumur peradaban manusia. Garam adalah produk budaya yang memiliki keterhubungan dengan produk budaya lain dalam membentuk peradaban. Rembang yang memiliki predikat sebagai Kota Garam justru tidak memiliki narasi terkait dengan garam. Catatan beratarik 1832 menunjukkan bahwa garam adalah salah satu komoditi ekspor penting dari Rembang. Ada  pula Tambak Gede di desa Dasun Lasem yang ditengarai sebagai situs tambak garam tertua di daerah Rembang, bahkan mungkin di daerah pantura.

Tambak Gede di Dasun merupakan bengkok yang menjadi hak lurah atau kepala desa yang sedang memimpin. Tambak ini menyimpan sejarah yang panjang yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Dasun itu sendiri. Di dalamnya ada orang-orang yang tidak hanya menggantungkan hidupnya dari garam tapi juga mendapatkan identitasnya dari desanya yang dikepung oleh tambak garam. Mereka memuliakan dan mewarisi pengetahuan yang menubuh dalam budidaya garam. Ada punden, ada tradisi dan ritus yang hidup, ada kisah yang masih dituturkan di sekitar tambak di Dasun yang turut membangun konsepsi atas ruang hidup warganya.

Sampai di titik ini tiba-tiba saya melihat keinginan untuk membuat environmental art di atas tambak merupakan sikap yang angkuh, semena-mena, lahir dari kepicikan yang banal. Tambak bukanlah ruang kosong, sementara putihnya kristal garam tidak berarti dia steril dari anasir sekitarnya. Tambak bukan hanya entitas fisik dan alat produksi pun garam bukan sekedar komoditas. Tambak adalah ruang kultural yang memiliki pundi-pundi simbolik berlimpah, menyediakan palet warna warni untuk sebuah lukisan yang bermakna bagi warga, ketimbang bahan apapun dari luaran sana. Pun seandainya saya mencoba berempati dengan melukiskan perihal teralineasinya petani garam dalam sistem ekonomi yang kapitalistik, apa yang saya lakukan bisa jadi tak lebih dari menuang lapisan tipis minyak di atas air. Tambak garam tidak membutuhkan orang lain untuk membuat kisahnya sendiri.

Saya kehilangan keinginan mewujudkan karya saya sendiri, kacuali itu dilakukan dengan kolaborasi bersama petani dan warga setempat. Saya berkeyakinan bahwa petani garam dan warga setempat adalah pihak pertama yang punya daulat untuk berkisah lewat tambak dan garam mereka.  Mereka pula yang harus memberi makna atas kegiatan yang dilakukan. Tapi apa makna sebuah environmental art bagi petani garam? Jangan-jangan ini cuma kegenitan yang tak ada juntrungan buat mereka.

Angin mungkin lebih terlihat nyata bagi petani garam ketimbang apa itu environmental art. Namun gagasan memang suka srawung dan pada akhirnya akan menemukan jalannya sendiri. Pada sebuah diskusi beraroma kopi dan asap tembakau saya dan warga Desa Dasun menemukan motif yang sama antara praktek berkesenian dengan tradisi bancakan. Sebagai sebuah media demi terhubungnya gagasan seorang individu dengan khalayak, praktek kesenian tak ubahnya sebagai sebuah bancakan. Sejatinya bancakan adalah manifestasi doa dan ungkapan rasa syukur dengan cara berbagi secara kolektif. Bancakan adalah momen perjumpaan warga desa dengan cara berbagi, mengambil peran yang dengan demikian memantabkan posisi seseorang sebagai bagian dari semesta yang lebih luas. Manunggaling jagad gede karo jagad cilik, bersatunya microcosmos dengan macrocosmos. Begitulah petani garam dan warga dasun memaknai kegiatan ini. Kami berjabat sepakat memberi tajuk Bancaan Visual, yang kemudian berubah menjadi Bancaan Rupa.

Sebagaimana jamaknya bancaan, warga berbagi ambengan berujud hidangan makanan dengan berbagai lauk. Dalam Bancaan Rupa kali ini petani garam dan warga desa Dasun berbagi ambengan dalam bentuk sajian rupa yang bisa dinikmati khalayak. Di dalam ambengan rupa tersebut disajikan tujuh ubo rampe berupa visualisasi bumi, matahari, air dan angin serta gunungan, naga dan burung hong ser­­­ta ornamen islami. Tujuh elemen yang terdiri dari empat elemen alam dan tiga elemen budaya itu juga diwujudkan dalam tujuh kerucut garam melambangkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas alam dan budaya yang memberi penghidupan kepada petani garam maupu­­n masyarakat Dasun. Semoga di musim mendatang garam memberi penghidupan yang makin baik kepada petani dan warga desa Dasun. Kabul kajate. Amin.

*)PROFIL EGGY YUNAEDI

Eggy Yunaedi adalah perupa kelahiran Rembang, tinggal di Bekasi. Menyelesaikan pendidikan di Ilmu Komunikasi UGM, dua puluh tahun lebih Eggy bekerja di dunia kreatif sebagai creative director di beberapa agensi multinasional, dan memenangkan puluhan penghargaan nasional maupun internasional, seperti di ajang Citra Pariwara, Asia Pacific Advertising Festival, Spike Asia Award dll. Eggy kini lebih banyak bekerja sebagai perupa dan  pegiat kebudayaan. Pada saat ini Eggy menjadi Panel Ahli Platform Kebudayaan Indonesiana, Ditjenbud Kemendikbudristek RI.

­­Selain kerap melakukan aksi speed painting, Eggy juga  sering melakukan aksi seni rupa di ruang publik dalam skala besar , di antaranya adalah “Melangitkan Doa” yang turut memeriahkan Harlah 1 Abad NU di Sidoarjo beberapa waktu yang lalu. Karya tersebut dicatat oleh Museum Rekor Muri sebagai display doa terbanyak dan terbesar di dunia. Karya Eggy dalam skala raksasa yang lain adalah lukisan berjudul “Suluh Samin” yang dibuat dari 2000 obor pada peringatan 1 abad perjuangan Samin Surosentiko.

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto


Oleh Heru Hikayat*

Seni sesungguhnya kerdil di hadapan alam. Seni adalah ciptaan manusia, sementara alam adalah ciptaan Sang Maha Pencipta. Manusia pun mencipta seni dengan belajar pada alam, artinya belajar pada Sang Pencipta. Datanglah masa modern, yang membuat manusia merasa perlu menujukan segala sesuatu pada dirinya, maka seni pun dibikin seolah “otonom” terpisah dari alam.

Keyakinan akan seni yang “otonom” tampak dari konvensi ruang seni. Baik gedung pertunjukan maupun galeri seni rupa dirancang agar seni dapat tampil dalam wajah terbaiknya. Unsur-unsur alam dihambat, sinar matahari atau suara-suara alami tak dibiarkan “bocor”. Ruang seni harus steril. Manusia tidak dapat mengendalikan sinar matahari ataupun suara alami; sementara di ruang seni, unsur cahaya, suara, perwujudan, semuanya harus dalam kendali manusia.

Dalam wilayah seni rupa, galeri berwujud kubus putih. Di bidang seni pertunjukan, ada panggung proscenium. Keduanya sama: pertama, membuat penonton dan apa yang ditonton berjarak. Kedua, karya seni diandaikan hadir sepenuhnya dalam wajah terbaiknya. Inilah konvensi ruang seni.

Pada perjalanannya kemudian, muncul gerakan seni yang menentang kekakuan ruang-ruang tersebut. Seni lingkungan (environmental art) adalah salah satunya. Karya seni kadang begitu besar hingga tak dapat ditampung dalam galeri. Tapi prinsip dasarnya adalah, seni dikembalikan pada alam.

Kita pun patut ingat, di luar ranah seni modern, seni pertunjukan terbiasa dengan ruang yang tak-memisahkan-antara-penonton-dan-yang-ditonton. Pada ruang-ruang terbuka, peristiwa seni adalah juga keseharian.

Risikonya, seni di tengah alam, tentu harus berhitung dengan sangat banyak hal di luar kendali manusia.

* * *

Ada satu istilah keilmuan yang kerap dikaitkan dengan seni, yakni estetika. Estetika, sebagian mengartikannya sebagai “ilmu tentang keindahan”; sebagian lagi mengartikannya “filsafat seni”. Dalam kedua pengertian ini, estetika hampir selalu dikaitkan dengan seni. Ada pengertian lain yang lebih mendasar, estetika adalah hal-ihwal pencerapan. Dalam pengertian ini, estetika tidak melulu perkara seni; tapi akan mudah mengaitkannya dengan alam.

Saat manusia berada di hadapan (atau di tengah) kebesaran alam, bisa dipastikan manusia itu dibuat terkesan; mungkin kagum, mungkin terharu, atau merasa kerdil, bahkan merasa terancam. Karena demikianlah alam: ia begitu agung, penuh kekuatan, mengayomi sekaligus mengancam. Letusan gunung berapi memusnahkan sekaligus menjadi basis kehidupan bagi banyak makhluk. Di alam, kekuatan penghancur adalah sekaligus daya yang merawat, menghidupi.

Cara terbaik bagi seni adalah selalu belajar pada alam, dalam pengertian, seni selalu membutuhkan cara untuk menggugah, untuk memantik kesan yang mendalam. Karya seni yang baik adalah karya seni yang terus-menerus ditafsirkan, artinya karya seni harus menarik perhatian para penafsir yang produktif. Proses ini hanya bisa dimulai jika pemirsanya tergugah. Tentu saja ada sejumlah faktor lain yang berpengaruh, termasuk perputaran modal dan aspek politik; tapi untuk diskusi kita kali ini, lebih mudah jika kita fokus pada aspek yang membuat sebuah karya seni menggugah.

Konvensi ruang seni dirancang sedemikian rupa agar mengoptimalkan daya gugah itu. Dan ternyata strategi mendasar dari rancangan ini adalah dengan membuat segala sesuatunya bisa dikendalikan oleh manusia. Ada sebagian di antara kita yang memiliki keterampilan menata cahaya. Ia sedemikian terampil mengolah pencahayaan dalam sebuah ruang. Pada kesempatan ini, hal yang hendak digaris-bawahi adalah, keterampilan semacam itu mensyaratkan batas-batas ruang yang mudah dikenali. Batas itu adalah platform (pijakan) di mana karya seni hadir, melenggang-menampilkan-dirinya.

Di tengah keluasan alam, batas itu tak ada. Di tengah alam, manusia kerdil.   

Jika sekelompok orang memutuskan membuat karya seni di ruang terbuka, maka mereka sesungguhnya tengah menyongsong sejumlah risiko. Dilihat dari kacamata seni modern, risiko-risiko ini sungguh tak masuk akal. Tapi jika kita hendak menggeser sudut pandang, barangkali masih ada wilayah-wilayah “tradisi” atau paling tidak kekerabatan komunal yang memungkinkan risiko-risiko itu dikelola. Dugaannya, pada gaya hidup yang masih mampu mempertahankan watak tradisionalnya, risiko hidup di tengah alam diposisikan sebagai keniscayaan belaka. Sementara seni, kadung selalu berangkat dari konteks tertentu. Maka, cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan berupaya sebijak mungkin memahami konteks di latar belakang tersebut.

Apakah di masa kini seni masih punya daya untuk menggugah? Saya menuliskan ini dengan mempertaruhkan kepercayaan: Ya, seni masih mampu menggugah. Bagaimana caranya? Inilah yang dapat menjadi bahan diskusi kita.

Bandung, 15 November 2023

*)PROFIL HERU HIKAYAT

Heru Hikayat adalah alumnus FSRD ITB, bekerja sebagai kurator seni rupa dan aktif dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan budaya, juga menulis ulasan seni, esai, dan obituari ke berbagai media.

Sejak 2018 Heru menjadi tim ahli Platform Indonesiana--sebuah jejaring kerjasama festival kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek RI. Platform Indonesiana adalah salah satu program yang diinisiasi untuk menerapkan Undang-Undang No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Sejak 2018 pula Heru menjadi anggota Koalisi Seni. Koalisi Seni adalah perkumpulan yang mengkhususkan diri pada advokasi kebijakan di bidang kesenian, dengan anggota tersebar di seluruh Indonesia.

Sejak 2020 Heru menjadi in-house curator Selasar Sunaryo Art Space, sebuah lembaga yang berfokus pada pengembangan seni rupa kontemporer secara khusus, kebudayaan visual secara umum, di Bandung.

Heru terlibat dalam banyak penyelenggaraan kegiatan, di antaranya: Bandung Art Now, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Jatiwangi Artists in Residence Festival, Majalengka, Jawa Barat; Bandung Art Now, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Seni Bandung#1—A Collaborative Arts Event, Bandung, Jawa Barat; Festival Seni Multatuli, Lebak, Banten; Foho Rai Festival, Belu, Nusa Tenggara Timur; Cerita dari Blora, Jawa Tengah; Palu Salonde Percussion, Sulawesi Tengah; Asiatopia Performance Art Festival, Bangkok Thailand; Edinburgh International Culture Summit, UK; Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM), Candi Prambanan, Jawa Tengah; International Forum for Advancement of Culture (IFAC),  Jakarta.  

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/dari-kubus-putih-ke-tambak-garam


Oleh Kris Budiman*

Apabila seseorang meluncur di poros horisontal, dari kota Rembang menuju Lasem atau sebaliknya, tampak di matanya tambak-tambak garam. Terpaan visual ini, sungguh, tiada terhindarkan oleh sesiapa yang melintas. Bahkan, andai dia mampu meluncur tegak lurus dengan langit, setidak-tidaknya melambungkan imajinasi secara vertikal, terlihat bahwa tambak-tambak ini memberikan aksentuasi warna distingtif bagi lukisan bentang alam dan lingkungan yang lebih luas. Bidang-bidang putih atau bagai kaca, yang memantulkan terik di sepanjang garis pantai, menjadi indeks bagi keberadaan tambak-tambak itu. Petak-petaknya menandai tepi tanah dan teluk, gunung dan semenanjung. Sanggupkah dia menghindar dari visualitas yang sangat wantah ini?

Apa yang disebut sebagai visualitas, kendati demikian, bukanlah semata produk tindakan retinal-fisiologis (menggunakan mata), melainkan terutama wacana sosial yang bermakna, dapat diberi makna. Secara historis warga Lasem telah terus-menerus, berbilang abad lamanya, memberi makna bagi bentang alam ini, sedemikian sehingga ia menjelma sebagai bentang budaya (cultural landscape). Posisi geografis Lasem, yang tersedia sebagai sebuah kawasan ideal bagi kapal dan perahu untuk berlabuh, sebab terlindung dari gelombang dan angin kencang, merupakan salah satu faktor paling signifikan dalam membangun sistem budaya dan sosialnya.

Komposisi bentang alam yang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan, dengan sumberdaya alam dan lingkungannya masing-masing, sukar dimungkiri, berkontribusi besar bagi bentang budaya dan kehidupan sosial Lasem, termasuk ekonominya. Sebagai sebuah kota pesisir, komoditas yang diperdagangkan tentu mencakup produk-produk yang variatif. Dari kawasan pantainya, antara lain, dihasilkan garam. Namun, Lasem pada khususnya dan Rembang pada umumnya kurang dikenal sebagai “kota garam” dalam sejarah. Tome Pires, misalnya, melaporkan dalam Suma Oriental bahwa Ramee (baca: Rembang) lebih dikenal sebagai negeri (penghasil) beras dan kayu, alih-alih garam.

Kajian Kwee Hui Kian, The Political Economy of Java’s Northeast Coast, c. 1740-1800: Elite Synergy (2006), menunjukkan bahwa garam ― baik diusahakan warga lokal atau monopoli pemerintah kolonial ― merupakan komoditas baru yang potensial semenjak dekade-dekade awal abad XVIII. (Ingat: tambak Tan Ke Wi di Lasem.) Dalam bingkai yang lebih besar, dia juga menyodorkan gambaran tentang bagaimana pada paruh kedua abad XVIII komoditas-komoditas utama, antara lain produk alam seperti garam dan sarang burung; produk pertanian seperti beras, kacang-kacangan, kapas, tembakau, lada, kapulaga, asam, dan ketumbar; produk hutan seperti kayu; serta produk pabrikan (manufactured goods) seperti gula kelapa, benang, dan kain, telah meramaikan Lasem dan kota-kota pelabuhan lainnya di Pesisir Timur-Laut Pulau Jawa.

“Garam adalah sebuah keniscayaan,” ujar Eggy Yunaedi, penggagas Bancakan Rupa. Sulit untuk membantahnya. Tiada kurang peribahasa dan perumpamaan yang menekankan ini. Selain terhubung dengan produk-produk budaya lain, garam niscaya bersentuhan secara resiprokal dengan dunia masak dan, dengan demikian, praktik makan dan makanan. Hingga hari ini, tradisi (Jawa) tertentu masih mengenal satu genre makanan yang bernama ambengan dan mempraktikkan santap sosial (social meal), berbagi makanan, dalam format bancakan. Bancakan adalah bagian penting dari slametan, ritual dasar masyarakat Jawa. Melalui bancakan inilah warga menikmati, bersantap-bareng, hidangan khas ambengan yang tersaji di atas lembar daun pisang atau tampah-tampah.

Bentang “lukisan” yang dikerjakan Eggy Yunaedi ― sebuah kerja kolaboratif dengan para petani garam dan warga Desa Dasun ― menyiasati media garam di atas “kanvas” Tambak Gede, yang sudah beroperasi sejak 1940-an. Peranti (ubarampe) yang ditonjolkan tersusun atas elemen-elemen alam spesifik: bumi (tanah) dan laut (air); udara (angin) dan matahari (api). Keempatnya direlasikan lebih jauh dengan tiga elemen konstitutif budaya Lasem: kejawaan, ketionghoaan, dan keislaman. Keseluruhan peristiwa yang menyajikan ambengan metaforis ini diwadahi dalam Bancakan Rupa. Oleh karena itu, mau tidak mau, konteks situasional dari peristiwa ini adalah kenduren atau slametan, di samping konteks historis yang sudah dipaparkan barusan.

Slametan tergolong sebagai ritus intensifikasi lantaran fungsi integratifnya, yaitu untuk mengafirmasi-ulang jaringan sosial, mengumpulkan warga dalam kebersamaan. Dalam ritual ini kerap berlangsung praktik perputaran pemberian, semisal bancakan. Di sini makanan yang tersaji sebagai ambengan menempati posisi simbolis dominan, menjadi pusat peristiwa. Bahkan para partisipan ritual masih bisa membawa pulang hidangan yang tersisa untuk berbagi dengan keluarganya. Ritual ini, meminjam kata-kata Clifford Geertz (1973: 142) dalam kitab klasiknya, The Interpretation of Culture (1973: 142), berperan untuk “reinforce the traditional social ties between individuals; strengthened and perpetuated through the symbolization of the underlying social values upon which the social structure is rest.”

Sebagai sebuah ritual, singkatnya, ia tiada lain daripada sejenis perjamuan yang berdampak solidaritas. Melalui proses ritual dasar ini rasa komunitas (a sense of community) ditekankan, solidaritas dikuatkan. Semua memperoleh berkat, ketenangan jiwa dan raga (slamet). Semuanya, tanpa kecuali, sebab tiada seorang pun merasa dirinya dibedakan dari yang lain. Setiap orang adalah sesama.

“Quiet, undramatic little ritual.” Demikian Geertz (1973: 147) menarik simpul bagi ritual ini. Tidak dramatis, katanya. Padahal, baik di dalam antropologi performans maupun kajian seni pertunjukan, sering dinyatakan bahwa ritual tidak mudah diperbedakan dari teater. Batas di antara kedua genre ini tipis saja: di satu sisi terdapat teater yang “menghibur,” menyenangkan; di sisi lain ritual yang “mujarab” (efficacious), berorientasi pada kepercayaan. Apa yang dikategorikan sebagai ritual selalu tertuju kepada problem eksistensial; memberikan artikulasi simbolis dan tematisasi hubungan di antara jagat duniawi (sosial) dan rohani (spiritual).

Pernyataan Geertz itu, dengan kata lain, seakan berseberangan dengan Rendra yang pernah mementaskan drama Selamatan Anak-Cucu Sulaiman. Tidak bisa dikatakan bertentangan, sesungguhnya. Pementasan Bengkel Teater Rendra justru dapat terjadi berkat kecerdasan kreatif dalam menyiasati ketidakdramatisan ritual tersebut. Harapan kita, berkaitan dengan peristiwa Bancakan Rupa, Eggy Yunaedi yang berkolaborasi dengan para pemulia garam dapat mentransformasi “Rewang Ambengan” sebagai media seni visual yang dinamis. Sebagaimana slametan yang tak-dramatis itu dapat berubah dramatis di tangan yang tepat, peristiwa Bancakan Rupa pun diharapkan dapat berkontribusi sebagai faktor dinamis, menjadi garam bagi lingkungan dan budaya Lasem.

*)PROFIL SINGKAT KRIS BUDIMAN

Kris Budiman, penulis yang berminat pada seni rupa, budaya visual, sastra, dan kepurbakalaan. Doktor di bidang kajian budaya ini selama tiga tahun terakhir menerbitkan beberapa buku: Blues Rindu (2020, terjemahan atas puisi-puisi Langston Hughes) dan Tatanan Wacana (2022, terjemahan atas esai Michel Foucault, “The Order of Discourse”). Novel terbarunya, Hierofani: Sebuah Fiksi Perjalanan (2023), segera terbit. Sejak 2013 menjadi kurator tetap di Sangkring Art Space, Yogyakarta.

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/bancakan-rupa-konteks


Seringkali masyarakat umum memandang budaya identik dengan ritual, pakaian adat, tarian dan bahasa yang dituturkan. Namun budaya tak cukup sampai di situ karena ia melekat pada diri yang menjelma menjadi sebuah rutinitas di sekeliling kita. Interaksi yang terbentuk antara manusia dengan alam menjadi kunci bahwa budaya memiliki ruang lingkup yang luas. Dalam perjalanannya, interaksi yang mengakar dalam kurun waktu yang lama tersebut sekarang mulai tergerus oleh pengaruh budaya luar yang masuk secara massif lewat teknologi komunikasi dan informasi. Situasi ini merongrong jati diri bangsa dengan kebudayaan masa kini. Dalam konteks inilah kita perlu mewaspadai bagaimana kuasa budaya (!) mulai menggeser jati diri kita sebagai bangsa yang besar dengan budaya maritim yang kuat yang diturunkan oleh nenek moyang kita.

Setiap desa di Indonesia adalah mikrokosmos dari kebudayaan nasional. Di sana dapat dijumpai akar budaya bangsa Indonesia.. Desa Dasun salah satu desa yang berlokasi di pesisir utara Pulau Jawa,. Desa yang berada di tepi laut Jawa ini memiliki kecondongan kepada masyarakat berbasis aktivitas kemaritiman. Ragam aktivitasnya dibangun dan bertaut dengan elemen air. Keseharian mereka digerakan dari potensi air dengan menjadi nelayan, petani garam, dan budidaya bandeng. Aktivitas ini berlangsung sejak dahulu hingga sekarang. Mereka telah mampu mempertahankan kemampuan sistem sosial sebagai masyarakat yang didominasi oleh potensi air.

Salah satu yang perlu kita bahas yaitu aktivitas membuat garam (sareman). Petani garam Desa Dasun melakukan produksi garam secara musiman. Produksi garam yang memanfaatkan panas matahari pada musim kemarau ini berlangsung pada bulan Juni-Oktober. Garam yang di produksi oleh petani tambak desa Dasun memiliki dua jenis, yaitu garam krosok dengan media tanah dan garam membran. Garam krosok yang menggunakan media tanah memiliki kualitas dibawah garam membran. Garam krosok dihasilkan dari pengolahan air garam dengan media tanah tambak. Kualitas garam krosok yang dihasilkan dengan menggunakan media tanah tergantung dari lama penggunaan media tanah untuk memproduksi garam. Media tanah yang pertama kali memproduksi garam setelah proses pengurasan dan pengerasan tanah (media prawan) akan menghasilkan garam berkualitas baik. Namun kualitas garam akan mengalami penurunan jika medianya sudah digunakan 2-4 kali, terutama jika tidak dilakukan pengurasan dan pengerasan kembali.

Media produksi garam lain yang biasa digunakan oleh petani garam di Desa Dasun adalah media membran (terpal hitam). Pembuatan garam jenis ini menggunakan bantuan terpal hitam sebagai alas. Penggunaan media terpal hitam dapat menghasilkan garam berkualitas baik karena tidak adanya butiran tanah yang tercampur dalam garam. Pemanfaatan media ini bisa menghemat tenaga yang dikeluarkan petani karena mereka tidak perlu mengeraskan media tanah terus menerus dan menguras air secara berkala. Pengerasan tanah hanya dilakukan di awal saat pembentukan media terpal. Dengan demikian, efektivitas penggunaan media ini menghasilkan jumlah produksi yang maksimal.

Harga jual garam yang tidak stabil pada setiap tahunnya menjadi problem mendasar bagi petani garam. Pergerakan harga garam yang naik turun berpengaruh pada semangat petani garam dalam proses produksi. Produksi garam yang bersifat musiman ditambah tidak stabilnya harga garam memunculkan masalah baru berupa sulitnya regenerasi bagi kaum muda untuk terjun menjadi petani garam. Alih-alih menjadi petani garam, mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik yang memiliki gaji stabil. Kasus semacam ini bukan hanya terjadi di Desa Dasun, tapi juga hampir di setiap daerah.

Pembuatan garam rakyat Desa Dasun masih menggunakan teknik tradisional. Mereka mengambil air laut lalu dilakukan penguapan alami dengan sinar matahari (solar evaporation). Proses itu dimulai dari penanganan pemasukan air laut hingga pemanenan garam. Beriringan dengan hadir dan digunakannya teknik pembuatan garam semi modern, petani garam tradisional Desa Dasun masih tetap bertahan. Mereka memproduksi garam dengan teknik tersebut di atas tambak miliknya sendiri yaitu tambak garam warisan dari generasi sebelum mereka.

Sebagai bagian dari warisan sejarah petani garam di Desa Dasun, teknik pembuatan garam secara tradisional ini masih digunakan hingga sekarang. Dipandang dari pendekatan budaya, ia berfungsi sebagai memori budaya yang setia menjaga ketahanan sistem mata pencaharian petani garam. Cara produksi pembuatan garam yang ramah ini telah menjadi ruang pewarisan pengetahuan dari generasi ke generasi.

*) Angga Hermansah, Warga Desa Dasun sekaligus Penulis Buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

Sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/garam-warisan-pengetahuan-dari-masa-ke-masa

Contact Me

Contact With Me

Sejak awal berdirinya Dasun Heritage Society (DHS), Desa Dasun memiliki beragam kegiatan kreatif dalam melestarikan potensi alam dan budayanya. Mulai dari pendataan potensi, pembuatan film dokumenter, peningkatan literasi melalui perpustakaan, dukungan kegiatan kebudayaan, sampai penyusunan buku. Dasun Heritage Society (DHS) selalu menjadi yang terdepan mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan warisan Desa Dasun.

  • Desa Dasun, RT 03/RW 01, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang
  • +62 895-4124-99678
  • pusakabaharidasun@gmail.com
  • https://pusakadasun.blogspot.com/