pranata banyu

My Blog

Latest blog


Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa lepas dengan namanya pengetahuan. Dari pengetahuan yang paling sederhana sampai dengan pengetahuan yang kompleks. Pengetahuan tanpa kita sadari memberikan pedoman tata kelola dalam kehidupan,lebih khusus masyarakat desa yang tetap eksis dalam mempertahankan, melestarikan, dan mempraktekkan pengetahuan tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Desa sebagai salah satu akar besar budaya bangsa Indonesia telah memberikan kontribusi besar dalam kekayaan sumber pengetahuan tradisional yang telah ada sejak zaman dahulu. Akan tetapi pada saat ini pengetahuan tradisional sedikit demi sedikit mulai memudar, seiring dibarengi dengan munculnya pengetahuan modern yang memberikan kemudahan bagi setiap orang. Entah itu disengaja atau tidak, beberapa pengetahuan modern malah melemahkan kita dalam hal bertahan hidup menghadapi alam. Namun pengetahuan modern tetap diperlukan, akan tetapi sumber pengetahuan tradisional harus tetap eksis dan terus diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk praktik-praktik budaya yang nyata.

Salah satu pengetahuan tradisional yang sering dijumpai di berbagai daerah dan desa yaitu tentang perhitungan musim atau mangsa.  Perhitungan musim seringkali menjadi pokok bahasan masyarakat desa, seperti masyarakat nelayan dan petani tambak di Desa Dasun yang sangat bergantung dengan musim dan cuaca. Kelompok nelayan perlu menghitung musim untuk menentukan waktu dan alat tangkap yang digunakan untuk pergi melaut. Dan juga para petani tambak yang memerlukan perhitungan musim untuk menentukan kapan memulai produksi garam atau mulai budidaya ikan bandeng. Pengetahuan tradisional yang berhubungan dengan kendali air inilah kemudian Penulis sebut dengan istilah pranoto banyu. 

Pranoto banyu merupakan pengetahuan dalam memahami dan menguasai pergantian dan penghitungan musim, perubahan pergerakan air sungai dan laut, tata cara pengelolaan tambak bandeng dan garam, serta tanda alam yang mempengaruhi musim tangkapan nelayan. Pengetahuan tersebut bagi masyarakat Dasun amat penting dalam menyiapkan segala sesuatu  hal, baik  tata cara, sikap dan perubahan yang akan terjadi pada alam. Hal ini menjadikan pranoto banyu sebagai praktik kebudayaan masyarakat Dasun dan bagian dari memori kolektif yang tersimpan di dalam pikiran dan perilaku manusianya.

Hadirnya buku ini merupakan upaya untuk merekam memori kolektif dan praktik kebudayaan yang melekat dalam masyarakat Dasun yang kaya akan pengetahuan maritim. Terdapat tujuh bab dalam mengungkap memori kolektif pranata banyu masyarakat Dasun. Bab pertama dan bab ketujuh merupakan cerita Penulis saat melakukan penelitian memori kolektif kolektif pranata banyu sekaligus gagasan keberlanjutan Penulis dalam merespon momori kolektif tersebut. Selebihnya buku ini disajikan lima bab untuk para Penutur memori kolektif dengan pranata banyu di Desa Dasun tepatnya mulai bab dua hingga bab enam. Lima bab tersebut disajikan penuturan Informan tentang pranata banyu tambak garam oleh Bapak Sutrisno, pranata banyu tambak bandeng oleh Mbah Sidiq, pranata banyu segoro lor yang dituturkan oleh Mbah Yono atau Mbah Yono, pranata banyu segoro tambak yang dituturkan oleh Pak Dhe Nanto, dan pranata banyu Kali Dasun  yang dituturkan oleh Pak Dhe Tono. 

Dalam menyajikan memori kolektif pranata banyu masyarakat desa Dasun, buku ini disuguhkan dalam bentuk teks percakapan antara penulis dan informan. Percakapan memori kolektif ini di transkrip tanpa adanya penambahan dan pengurangan. Dengan penyajian tersebut, diharapkan para Pembaca buku ini seolah-olah merasakan penuturan langsung di depan Informan. Dengan suguhan teks percakapan secara langsung juga, para Pembaca dapat secara merdeka dalam menginterpretasi tentang pranata banyu yang dimiliki masyarakat Dasun. Adapun informan dipilih sesuai dengan rekomendasi masyarakat serta pengamatan dari Penulis langsung tentang aktor-aktor dalam praktik kebudayaan pranata banyu. 

Pada hakikatnya, pembuatan buku ingin mengembalikan kepopuleran pengetahuan tradisional dalam bidang kemaritiman yang semakin lama semakin memudar. Padahal jika kita tarik ke belakang pada zaman kerajaan Majapahit, letak kekuatan bangsa kita berada pada praktik kemaritiman yang fasih dan tangguh dengan didasari pengetahuan tradisional yang kuat dan mengakar. Untuk mengembalikan kekuatan dan kesohoran kemaritiman itu bisa dimulai dari dan dengan hal kecil, kita sebagai penerus, mau berinteraksi, mendengar,  bertanya, menanyakan ulang hasil penafsiran, menyebarluaskan, hingga mengajak generasi muda untuk melakukan pendataan memori kolektif yang dimiliki kelompok sosial khususnya tentang pranata banyu yang dimiliki masyarakat nelayan dan kelompok adat kemaritiman. , mampu menerjemahkan dan lebih baik lagi jika mampu mempraktekkan kembali dan meneruskan ke generasi selanjutnya.

Penulis ucapkan terimakasih dan salam hormat kepada para Informan yang telah menyampaikan memori kolektifnya tentang pranata banyu. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Pemerintah Desa Dasun yang selalu mensupport dalam proses pembuatan buku ini. Dan tak lupa juga, Penulis ucapkan terimakasih kepada keluarga dan teman-teman seperjuangan yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat agar tetap terus berada di jalan pelestarian dan pemajuan kebudayaan agar nilai-nilai kebudayaan tetap terus diwariskan ke generasi selanjutnya.

Salam Lestari,,

Yogyakarta, 07 Maret 2024




Menurut Witasari (2015) dalam Astha Brata dan Pranata Mangsa: Alam dan Relasi Kuasa, pranata mangsa merupakan wujud harmonisasi hubungan antara manusia lingkungan alam-dan Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan petani Jawa, dan masyarakat tradisional lainnya adalah bentuk keyakinan atas cara Tuhan bekerja mengatur alam melalui tanda-tanda alam, sebagai bagian dari keseimbangan kosmologis. Bentuk keyakinan tersebut kemudian diekspresikan dalam keseharian masyarakat kita, diantaranya adalah ekspresi kapan mengolah lahan, jenis tanaman apa yang ditanam, hingga tradisi yang membersamainya masih berhubungan dengan keyakinan pranata yang dikuasainya. Perihal pranata mangsa, kita juga diingatkan Sitaningtyas (2018) dalam Nilai Luhur Pranata Mangsa Dalam Sistem Pertanian Modern. Jurnal Ilmiah Hijau Cendekia, 1(2), 28-32, agar kita tidak lupa, bahwa pranata mangsa merupakan warisan nenek moyang petani Jawa yang membagi musim menjadi 12 mangsa. Masing-masing mangsa menjadi pedoman untuk melakukan kegiatan budidaya pertanian. Kedua belas mangsa dibagi berdasarkan pergerakan bintang, pembagian itu meliputi kondisi cuaca, kondisi alam, kondisi psikologi masyarakat dan anjuran kegiatan pertanian yang dapat dilakukan. Dan lebih bangganya lagi, dalam studi Karjanto (2022) dalam Revisiting Indigenous Wisdom of Javanese Pranata mangsa. Comment on Zaki et al. Adaptation to Extreme Hydrological Events by Javanese Society through Local Knowledge. Sustainability 2020, 12, 10373. Sustainability, 14(15), 9632, menegaskan bahwa dengan memadukan pranata mangsa (memadukan kearifan lokal) dengan data ilmiah, masyarakat Jawa memiliki ketahanan yang lebih baik dalam beradaptasi terhadap kejadian hidrologi ekstrem yang terjadi akibat pemanasan global dan perubahan iklim.
 
Dalam catatan Sobirin (2018) tentang lini masa pranata mangsa dalam Pranata Mangsa dan Budaya Kearifan Lingkungan, sejarah  zaman  keemasan  sampai  pudarnya  pranata mangsa,  dapat  dibagi  dalam  lima periode. Periode pertama sekitar tahun 1817, ketika unsur-unsur  pranata  mangsa  telah  dimanfaatkan oleh petani untuk kegiatan pertaniannya. Periode kedua sekitar tahun 1855 ketika pranata mangsa  ditetapkan  oleh Sri  Paduka  Susuhunan Pakubuwono  VII  sebagai  kalender  resmi  pertanian.  Periode ketiga  sekitar  tahun  1920,  ketika pranata  mangsa  mulai  meleset  dengan  diketahui adanya  anomali  iklim.  Periode  keempat  sekitar tahun 1970-an hingga tahun 1990-an ketika pembangunan infrastruktur di   Pulau Jawa meningkat pesat, sehingga pranata mangsa banyak tidak tepatnya. Periode kelima sekitar  tahun  2000  hingga  terakhir  tahun  2016  ketika modernisasi  kehidupan  telah  merata  di  Pulau Jawa  dan  pranata  mangsa  tidak  lagi  dihiraukan lagi sebagai kalender pertanian.

Dalam catatan Prahmana dkk (2021) dalam Ethnomathematics: Pranata mangsa System and The Birth-Death Ceremonial in Yogyakarta, telah mengingatkan kita bahwa masyarakat Jawa memiliki pembagian musim sejumlah duabelas mangsa. Pranata mangsa tersebut diantaranya; Mangsa Kasa(Musim pertama), Mangsa Karo (Musim kedua), Mangsa Katelu (Musim ketiga), Mangsa Kapat (musim keempat), Mangsa Kalima (Musim kelima), Mangsa Kanem( musim keenam), Mangsa Kapitu (musim ketujuh), Mangsa Kawolu (musim kedelapan), Mangsa Kasanga (musim kesembilan), Mangsa Kasepuluh(Musim kesepuluh), dan Mangsa Sadha (Musim kedua belas). 

Pranata mangsa hingga sekarang masih difungsikan. Studi Khotimah (2019) melaporkan pranata mangsa masih digunakan oleh petani di Kecamatan Imogiri sebagai pengendali kegiatan pertanian. Menurut Khatimah, kegiatan para petani yang berhubungan dengan pranata mangsa diantara pengambilan keputusan dalam menentukan jenis penggunaan lahan, pergiliran tanaman, dan jenis tanaman dominan di dalamnya. Keberfungsian pranata mangsa juga terapkan untuk mitigasi bencana. Hal ini dapat dilihat studi Sobirin (2018) dimana Pada  zaman  dahulu,  banjir  dan  kekeringan  telah  ada,  tetapi  kemungkinan  terjadinya peristiwa  lingkungan  terkait  air  tersebut  dapat diprediksi  jauh  sebelumnya,  sesuai  seperti  yang tertulis  pada  mangsa-mangsa    tertentu    dalam  pranata  mangsa. Sejak lama pranata mangsa telah menjalin relasi dengan masyarakat, khususnya Jawa. Menurut Badrudin (2024) dalam kaitannya dengan pranata mangsa, masyarakat Jawa mempunyai konsep hubungan vertikal dan horizontal yang meliputi: konsep Tuhan, dunia/bumi, waktu, dan ruang. Melalui pranata mangsa, para petani menyelaraskan diri dengan kosmos dan alam. Dari tiga kajian tersebut, keberadaan pranata mangsa dalam keseharian masyarakat Jawa masih berfungsi baik karena membantu dalam memahami musim dan mitigasi bencana yang akan terjadi, karena adanya hubungan relasional dalam membangun pengetahuan tentang pemahaman musim yang dibalut dengan hubungan horizontal dan hubungan vertikal.

Namun dengan pusaran fungsi dan relasi kuat itu, ternyata pranata mangsa dalam keadaan terancam. Menurut studi FIdiyani dan Kamal (2012) pranata  mangsa yang masih menjadi patokan bercocok tanam ini, akan tetapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pranata mangsa mulai ditinggalkan. Ini merupakan ancaman terhadap eksistensi pranata mangsa sebagai warisan budaya bangsa. Adapun ancaman pranata mangsa diantaranya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, irigasi teknis yang telah tertata dengan baik, dan keengganan petani untuk mempelajari pranata mangsa karena kerumitan dalam penghitungannya. Seiring dengan berjalannya waktu, dimungkinkan masyarakat Jawa akan kehilangan kearifan lokal dalam memahami mangsa. Keunikan pengetahuan lokal yang diceritakan Riza (2018) tentang memahami musim dengan telapak kaki, dimana penentuan penanggalan pranata mangsa Jawa dengan metode “jam matahari horizontal” menggunakan telapak kaki seseorang yang dapat diandalkan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Hal ini murni karena cara sebagian masyarakat Jawa menentukan pranata mangsa penanggalan Jawa secara langsung di lapangan. Keunikan pengetahuan lokal dalam memahami musim juga dapat dilihat studi yang publikasikan jurnal Intisari tentang tanda-tanda musim dari kicau burung, desir angin, hingga matahari. Beberapa kalangan menyebut pranata mangsa sebagai kombinasi ilmu dan pengalaman. Pasalnya, untuk memahami pranata mangsa, indra harus lihai menanggapi berbagai macam perubahan yang terjadi di alam. Para petani biasanya akan menggunakan tanda-tanda seperti kicau burung, desir angin, maupun cahaya matahari. Keunikan lagi adalah pengetahuan lokal dalam mengidentifikasi hama yang akan muncul di setiap musim. Studi tersebut telah dilakukan Wisnubroto (1997) dimana petani kita memiliki pengetahuan tentang terdapat hubungan antara indikator mangsa dengan intensitas serangan hama penggerek batang padi. Mungkin pengetahuan yang demikian akan segera hilang? 

Kritik Suwanto dkk (2010) dalam naskah Identifikasi Sains Asli (Indigenous Science) Sistem Pranata Mangsa Melalui Kajian Etnosains. In Prosiding Seminar Biologi dalam (Vol. 7, No. 1), melaporkan bahwa sebab generasi muda meninggalkan pranata mangsa karena perubahan profesi, kurangnya informasi, dan perubahan iklim. Bagaimana ketertarikan generasi muda menjadi petani? Apakah generasi muda disini memahami pranatamangsa? Apakah pranatamangsa memberi sumbangan dalam beradaptasi dengan perubahan iklim global saat ini? merupakah daftar pertanyaan belum terjawab. 

Walaupun demikian, kabar baik selalu datang seiring dengan rasa khawatir kita terhadap hilangkan pengetahuan lokal masyarakat tentang pranata musim ini. Kabar baik itu dapat kita jumpai pada studi Rahma dkk (2021) dimana pengetahuan pranata mangsa telah diadaptasikan dengan materi matematika. Pranata mangsa menjadi sumber belajar matematik. Selain pranata mangsa, Rahma juga menggunakan dan memadukan pengetahuan lokal masyarakat Yogyakarta dalam menggunakan pemodelan matematika untuk menentukan sistem musim dan tanggal pemakaman. Menurut Rahma, model-model ini berpotensi untuk digunakan sebagai titik tolak dalam pembelajaran matematika.

Kabar baik itu juga datang dari Kristoko dkk (2012) dalam pdated pranata mangsa: Recombination of local knowledge and agro meteorology using fuzzy logic for determining planting pattern. International Journal of Computer Science Issues (IJCSI), 9(6), 367, dimana telah dilakukan transformasi sosial pranata mangsa terhadap agrometeorologi. Kristoko menegaskan, sistem pranatamangsa baru yang bertujuan untuk menghasilkan prototype, simulasi rencana pola (periode 10 hari) dan perbandingan awal sistem pranatamangsa lama dan masa kini dengan menggunakan kombinasi sistem pranatamangsa dan pengetahuan agrometeorologi modern. Semoga saja dengan kabar baik (dalam ruang terbatas) ini pengetahuan pranata mangsa akan tetap terawat dikemudian.

Namun kabar baik itu tidak berlaku untuk pranata mangsa bagi para nelayan. Studi tentang pranata mangsa untuk nelayan masih langka ditemukan. Beberapa studi pranata mangsa menangkap ikan di laut dapat kita jumpai pada Partosuwiryo (2013) tentang Kajian Pranata Mangsa Sebagai Pedoman Penangkapan Ikan Di Samudra Hindia Selatan Jawa, Ardiansah (2019) tentang Perancangan Buku Visual Pranatamangsa Sebagai Pengetahuan Melaut dan Bercocok Tanam di Yogyakarta, Venia (2020) tentang Etnoastronomi masyarakat nelayan di Desa Bonang Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Keterbatasan studi tentang pranata mangsa ini jelas berbanding terbalik dengan potensi sumber daya laut kita miliki. Terlebih aktivitas di laut yang cenderung berisiko, maka kajian-kajian tentang pranata mangsa untuk untuk nelayan sudah saatnya dilakukan.  

Kajian pranata mangsa untuk nelayan, Penulis istilahkan Pranata Banyu. Maksud dari istilah pranata banyu merupakan pengetahuan yang meliputi pergantian dan penghitungan musim, perubahan pergerakan air sungai dan laut, tata cara pengelolaan tambak bandeng dan garam, serta tanda alam yang mempengaruhi musim tangkapan nelayan. Istilah tersebut Penulis munculkan sebagai pembeda dengan pranata mangsa yang dikenal selama ini oleh masyarakat agraris, selain itu pranata banyu bukan hanya membahas soal perhitungan musim ( mangsa ) melainkan juga tata kelola air untuk budidaya bandeng dan proses pembuatan garam.

Rujukan Tulisan 
  • Ardiansah, I. (2019). Perancangan Buku Visual Pranatamangsa Sebagai Pengetahuan Melaut dan Bercocok Tanam di Yogyakarta (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Dalam http://digilib.isi.ac.id/5817/. Diakses pada tanggal 19 Februari 2024, pukul 21.30 WIB. 
  • Badrudin, A. (2014). Pranata Mangsa Jawa (Cermin Pengetahuan Kolektif Masyarakat Petani/ nelayandi Jawa). http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/83880. Sabtu, 17 Februari 2024; 11:15 wib
  • Intisari. https://intisari.grid.id/read/033855183/arti-pranata-mangsa-sebagai-salah-satu-ajaran-dalam-primbon-jawa-cocok-bagi-yang-punya-profesi-ini?page=all Senin, 19 Februari 2024; 22.58 WIB ---
  • Karjanto, N. (2022). Revisiting Indigenous Wisdom of Javanese Pranata mangsa. Comment on Zaki et al. Adaptation to Extreme Hydrological Events by Javanese Society through Local Knowledge. Sustainability 2020, 12, 10373. Sustainability, 14(15), 9632.  https://doi.org/10.3390/su14159632.   Sabtu, 17 Februari 2024; 22:04  wib.
  • Khotimah, N. (2019, November). Pranata mangsa and the sustainability of agricultural land resources management in Imogiri sub-district of Bantul regency. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 338, No. 1, p. 012029). IOP Publishing. doi:10.1088/1755-1315/338/1/012029. Sabtu, 17 Februari 2024; 12:06  wib  
  • Kristoko, H., Eko, S., Sri, Y., & Bistok, S. (2012). Updated pranata mangsa: Recombination of local knowledge and agro meteorology using fuzzy logic for determining planting pattern. International Journal of Computer Science Issues (IJCSI), 9(6), 367.  https://www.proquest.com/openview/35c8689ac7ab3f8e3b707b18c39a1030/1?pq-origsite=gscholar&cbl=55228. Sabtu, 17 Februari 2024; 12:29  wib
  • Partosuwiryo, S. (2013). Kajian Pranata Mangsa Sebagai Pedoman Penangkapan Ikan Di Samudra Hindia Selatan Jawa. Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada , 15 (1), 20-25. https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1235000&val=11977&title=. Minggu, 18 Februari 2024; 00:04 WIB.   Ali Badrudin, SS (2018). Mangsa Pranata Jawa (Disertasi Doktor, Universitas Gadjah Mada). Minggu, 18 Februari 2024; 00:08
  • Prahmana, R. C. I., Yunianto, W., Rosa, M., & Orey, D. C. (2021). Ethnomathematics: pranatamangsa system and the birth-death ceremonial in Yogyakarta. http://doi.org/10.22342/jme.12.1.11745.93-112. Sabtu, 17 Februari 2024; 11:45  wib
  • Retnowati, A. (2014). Culture and risk based water and land management in karst areas: an understanding of local knowledge in Gunungkidul, Java, Indonesia. https://core.ac.uk/download/pdf/56346214.pdf. Sabtu, 17 Februari 2024; 23:27 wib 
  • Riza, M. H. (2018). Sundial Horizontal dalam Penentuan Penanggalan Jawa Pranata Mangsa. Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, 2(1), 119-142. DOI: 10.30659/jua.v2i1.3016. Sabtu, 17 Februari 2024; 12:32  wib
  • Sarwanto, S., Budiharti, R., & Fitriana, D. (2010). Identifikasi Sains Asli (Indigenous Science) Sistem Pranata Mangsa Melalui Kajian Etnosains. In Prosiding Seminar Biologi (Vol. 7, No. 1). https://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/prosbio/article/view/1263/856. Sabtu, 17  Februari 2024; 22:51 wib.  
  • Sitaningtyas, H. A. P. F. (2018). Nilai Luhur Pranata Mangsa Dalam Sistem Pertanian Modern. Jurnal Ilmiah Hijau Cendekia, 1(2), 28-32.  https://ejournal.uniska-kediri.ac.id/index.php/HijauCendekia/article/view/120/100. Sabtu, 17 Februari 2024; 22:46  wib
  • Sobirin, S. (2018). Pranata Mangsa dan budaya kearifan lingkungan. Jurnal Budaya Nusantara, 2(1), 250-264.  https://doi.org/10.36456/b.nusantara.vol2.no1.a1719. Sabtu, 17 Februari 2024; 11:19 wib   Fidiyani, R., & Kamal, U. (2012). Penjabaran Hukum Alam Menurut Pikiran Orang Jawa Berdasarkan Pranata Mangsa. Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 421-436. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.3.117. Sabtu, 17 Februari 2024; 11:15 wib
  • Somya, R., & Bayu, T. I. (2013). Studi Etnografi Visual Kearifan Lokal Pranata Mangsa sebagai Perangkat Revitalisasi dan Pengembangan Model Pranata Mangsa Terbaharukan. https://repository.uksw.edu//handle/123456789/6258. Sabtu, 17 Februari 2024; 23:18 wib  
  • Wisnubroto, S. (1997). Sumbangan pengenalan waktu tradisional “pranata mangsa” pada pengelolaan hama terpadu. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 4(1), 46-50. https://doi.org/10.22146/jpti.9881. Sabtu, 17 Februari 2024; 22:53 wib 
  • Witasari, N. (2015). Astha Brata dan Pranata Mangsa: Alam dan Relasi Kuasa dalam Konteks Agraria di Jawa. Paramita: Historical Studies Journal, 25(2), 225-237. https://doi.org/10.15294/paramita.v25i2.5138. Sabtu, 17 Februari 2024; 22:14  wib
  • Venia, Susan (2020) Etnoastronomi masyarakat nelayan di Desa Bonang Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Undergraduate (S1) thesis, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Dalam https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/15945/. Dikases pada tanggal 17 Februari 2024, pukul 20.51 WIB. 
Penulis adalah Angga Hermansah, Dasun, Lasem

Contact Me

Contact With Me

Sejak awal berdirinya Dasun Heritage Society (DHS), Desa Dasun memiliki beragam kegiatan kreatif dalam melestarikan potensi alam dan budayanya. Mulai dari pendataan potensi, pembuatan film dokumenter, peningkatan literasi melalui perpustakaan, dukungan kegiatan kebudayaan, sampai penyusunan buku. Dasun Heritage Society (DHS) selalu menjadi yang terdepan mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan warisan Desa Dasun.

  • Desa Dasun, RT 03/RW 01, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang
  • +62 895-4124-99678
  • pusakabaharidasun@gmail.com
  • https://pusakadasun.blogspot.com/