My Blog

Latest blog


Oleh Kris Budiman*

Apabila seseorang meluncur di poros horisontal, dari kota Rembang menuju Lasem atau sebaliknya, tampak di matanya tambak-tambak garam. Terpaan visual ini, sungguh, tiada terhindarkan oleh sesiapa yang melintas. Bahkan, andai dia mampu meluncur tegak lurus dengan langit, setidak-tidaknya melambungkan imajinasi secara vertikal, terlihat bahwa tambak-tambak ini memberikan aksentuasi warna distingtif bagi lukisan bentang alam dan lingkungan yang lebih luas. Bidang-bidang putih atau bagai kaca, yang memantulkan terik di sepanjang garis pantai, menjadi indeks bagi keberadaan tambak-tambak itu. Petak-petaknya menandai tepi tanah dan teluk, gunung dan semenanjung. Sanggupkah dia menghindar dari visualitas yang sangat wantah ini?

Apa yang disebut sebagai visualitas, kendati demikian, bukanlah semata produk tindakan retinal-fisiologis (menggunakan mata), melainkan terutama wacana sosial yang bermakna, dapat diberi makna. Secara historis warga Lasem telah terus-menerus, berbilang abad lamanya, memberi makna bagi bentang alam ini, sedemikian sehingga ia menjelma sebagai bentang budaya (cultural landscape). Posisi geografis Lasem, yang tersedia sebagai sebuah kawasan ideal bagi kapal dan perahu untuk berlabuh, sebab terlindung dari gelombang dan angin kencang, merupakan salah satu faktor paling signifikan dalam membangun sistem budaya dan sosialnya.

Komposisi bentang alam yang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan, dengan sumberdaya alam dan lingkungannya masing-masing, sukar dimungkiri, berkontribusi besar bagi bentang budaya dan kehidupan sosial Lasem, termasuk ekonominya. Sebagai sebuah kota pesisir, komoditas yang diperdagangkan tentu mencakup produk-produk yang variatif. Dari kawasan pantainya, antara lain, dihasilkan garam. Namun, Lasem pada khususnya dan Rembang pada umumnya kurang dikenal sebagai “kota garam” dalam sejarah. Tome Pires, misalnya, melaporkan dalam Suma Oriental bahwa Ramee (baca: Rembang) lebih dikenal sebagai negeri (penghasil) beras dan kayu, alih-alih garam.

Kajian Kwee Hui Kian, The Political Economy of Java’s Northeast Coast, c. 1740-1800: Elite Synergy (2006), menunjukkan bahwa garam ― baik diusahakan warga lokal atau monopoli pemerintah kolonial ― merupakan komoditas baru yang potensial semenjak dekade-dekade awal abad XVIII. (Ingat: tambak Tan Ke Wi di Lasem.) Dalam bingkai yang lebih besar, dia juga menyodorkan gambaran tentang bagaimana pada paruh kedua abad XVIII komoditas-komoditas utama, antara lain produk alam seperti garam dan sarang burung; produk pertanian seperti beras, kacang-kacangan, kapas, tembakau, lada, kapulaga, asam, dan ketumbar; produk hutan seperti kayu; serta produk pabrikan (manufactured goods) seperti gula kelapa, benang, dan kain, telah meramaikan Lasem dan kota-kota pelabuhan lainnya di Pesisir Timur-Laut Pulau Jawa.

“Garam adalah sebuah keniscayaan,” ujar Eggy Yunaedi, penggagas Bancakan Rupa. Sulit untuk membantahnya. Tiada kurang peribahasa dan perumpamaan yang menekankan ini. Selain terhubung dengan produk-produk budaya lain, garam niscaya bersentuhan secara resiprokal dengan dunia masak dan, dengan demikian, praktik makan dan makanan. Hingga hari ini, tradisi (Jawa) tertentu masih mengenal satu genre makanan yang bernama ambengan dan mempraktikkan santap sosial (social meal), berbagi makanan, dalam format bancakan. Bancakan adalah bagian penting dari slametan, ritual dasar masyarakat Jawa. Melalui bancakan inilah warga menikmati, bersantap-bareng, hidangan khas ambengan yang tersaji di atas lembar daun pisang atau tampah-tampah.

Bentang “lukisan” yang dikerjakan Eggy Yunaedi ― sebuah kerja kolaboratif dengan para petani garam dan warga Desa Dasun ― menyiasati media garam di atas “kanvas” Tambak Gede, yang sudah beroperasi sejak 1940-an. Peranti (ubarampe) yang ditonjolkan tersusun atas elemen-elemen alam spesifik: bumi (tanah) dan laut (air); udara (angin) dan matahari (api). Keempatnya direlasikan lebih jauh dengan tiga elemen konstitutif budaya Lasem: kejawaan, ketionghoaan, dan keislaman. Keseluruhan peristiwa yang menyajikan ambengan metaforis ini diwadahi dalam Bancakan Rupa. Oleh karena itu, mau tidak mau, konteks situasional dari peristiwa ini adalah kenduren atau slametan, di samping konteks historis yang sudah dipaparkan barusan.

Slametan tergolong sebagai ritus intensifikasi lantaran fungsi integratifnya, yaitu untuk mengafirmasi-ulang jaringan sosial, mengumpulkan warga dalam kebersamaan. Dalam ritual ini kerap berlangsung praktik perputaran pemberian, semisal bancakan. Di sini makanan yang tersaji sebagai ambengan menempati posisi simbolis dominan, menjadi pusat peristiwa. Bahkan para partisipan ritual masih bisa membawa pulang hidangan yang tersisa untuk berbagi dengan keluarganya. Ritual ini, meminjam kata-kata Clifford Geertz (1973: 142) dalam kitab klasiknya, The Interpretation of Culture (1973: 142), berperan untuk “reinforce the traditional social ties between individuals; strengthened and perpetuated through the symbolization of the underlying social values upon which the social structure is rest.”

Sebagai sebuah ritual, singkatnya, ia tiada lain daripada sejenis perjamuan yang berdampak solidaritas. Melalui proses ritual dasar ini rasa komunitas (a sense of community) ditekankan, solidaritas dikuatkan. Semua memperoleh berkat, ketenangan jiwa dan raga (slamet). Semuanya, tanpa kecuali, sebab tiada seorang pun merasa dirinya dibedakan dari yang lain. Setiap orang adalah sesama.

“Quiet, undramatic little ritual.” Demikian Geertz (1973: 147) menarik simpul bagi ritual ini. Tidak dramatis, katanya. Padahal, baik di dalam antropologi performans maupun kajian seni pertunjukan, sering dinyatakan bahwa ritual tidak mudah diperbedakan dari teater. Batas di antara kedua genre ini tipis saja: di satu sisi terdapat teater yang “menghibur,” menyenangkan; di sisi lain ritual yang “mujarab” (efficacious), berorientasi pada kepercayaan. Apa yang dikategorikan sebagai ritual selalu tertuju kepada problem eksistensial; memberikan artikulasi simbolis dan tematisasi hubungan di antara jagat duniawi (sosial) dan rohani (spiritual).

Pernyataan Geertz itu, dengan kata lain, seakan berseberangan dengan Rendra yang pernah mementaskan drama Selamatan Anak-Cucu Sulaiman. Tidak bisa dikatakan bertentangan, sesungguhnya. Pementasan Bengkel Teater Rendra justru dapat terjadi berkat kecerdasan kreatif dalam menyiasati ketidakdramatisan ritual tersebut. Harapan kita, berkaitan dengan peristiwa Bancakan Rupa, Eggy Yunaedi yang berkolaborasi dengan para pemulia garam dapat mentransformasi “Rewang Ambengan” sebagai media seni visual yang dinamis. Sebagaimana slametan yang tak-dramatis itu dapat berubah dramatis di tangan yang tepat, peristiwa Bancakan Rupa pun diharapkan dapat berkontribusi sebagai faktor dinamis, menjadi garam bagi lingkungan dan budaya Lasem.

*)PROFIL SINGKAT KRIS BUDIMAN

Kris Budiman, penulis yang berminat pada seni rupa, budaya visual, sastra, dan kepurbakalaan. Doktor di bidang kajian budaya ini selama tiga tahun terakhir menerbitkan beberapa buku: Blues Rindu (2020, terjemahan atas puisi-puisi Langston Hughes) dan Tatanan Wacana (2022, terjemahan atas esai Michel Foucault, “The Order of Discourse”). Novel terbarunya, Hierofani: Sebuah Fiksi Perjalanan (2023), segera terbit. Sejak 2013 menjadi kurator tetap di Sangkring Art Space, Yogyakarta.

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/bancakan-rupa-konteks


Seringkali masyarakat umum memandang budaya identik dengan ritual, pakaian adat, tarian dan bahasa yang dituturkan. Namun budaya tak cukup sampai di situ karena ia melekat pada diri yang menjelma menjadi sebuah rutinitas di sekeliling kita. Interaksi yang terbentuk antara manusia dengan alam menjadi kunci bahwa budaya memiliki ruang lingkup yang luas. Dalam perjalanannya, interaksi yang mengakar dalam kurun waktu yang lama tersebut sekarang mulai tergerus oleh pengaruh budaya luar yang masuk secara massif lewat teknologi komunikasi dan informasi. Situasi ini merongrong jati diri bangsa dengan kebudayaan masa kini. Dalam konteks inilah kita perlu mewaspadai bagaimana kuasa budaya (!) mulai menggeser jati diri kita sebagai bangsa yang besar dengan budaya maritim yang kuat yang diturunkan oleh nenek moyang kita.

Setiap desa di Indonesia adalah mikrokosmos dari kebudayaan nasional. Di sana dapat dijumpai akar budaya bangsa Indonesia.. Desa Dasun salah satu desa yang berlokasi di pesisir utara Pulau Jawa,. Desa yang berada di tepi laut Jawa ini memiliki kecondongan kepada masyarakat berbasis aktivitas kemaritiman. Ragam aktivitasnya dibangun dan bertaut dengan elemen air. Keseharian mereka digerakan dari potensi air dengan menjadi nelayan, petani garam, dan budidaya bandeng. Aktivitas ini berlangsung sejak dahulu hingga sekarang. Mereka telah mampu mempertahankan kemampuan sistem sosial sebagai masyarakat yang didominasi oleh potensi air.

Salah satu yang perlu kita bahas yaitu aktivitas membuat garam (sareman). Petani garam Desa Dasun melakukan produksi garam secara musiman. Produksi garam yang memanfaatkan panas matahari pada musim kemarau ini berlangsung pada bulan Juni-Oktober. Garam yang di produksi oleh petani tambak desa Dasun memiliki dua jenis, yaitu garam krosok dengan media tanah dan garam membran. Garam krosok yang menggunakan media tanah memiliki kualitas dibawah garam membran. Garam krosok dihasilkan dari pengolahan air garam dengan media tanah tambak. Kualitas garam krosok yang dihasilkan dengan menggunakan media tanah tergantung dari lama penggunaan media tanah untuk memproduksi garam. Media tanah yang pertama kali memproduksi garam setelah proses pengurasan dan pengerasan tanah (media prawan) akan menghasilkan garam berkualitas baik. Namun kualitas garam akan mengalami penurunan jika medianya sudah digunakan 2-4 kali, terutama jika tidak dilakukan pengurasan dan pengerasan kembali.

Media produksi garam lain yang biasa digunakan oleh petani garam di Desa Dasun adalah media membran (terpal hitam). Pembuatan garam jenis ini menggunakan bantuan terpal hitam sebagai alas. Penggunaan media terpal hitam dapat menghasilkan garam berkualitas baik karena tidak adanya butiran tanah yang tercampur dalam garam. Pemanfaatan media ini bisa menghemat tenaga yang dikeluarkan petani karena mereka tidak perlu mengeraskan media tanah terus menerus dan menguras air secara berkala. Pengerasan tanah hanya dilakukan di awal saat pembentukan media terpal. Dengan demikian, efektivitas penggunaan media ini menghasilkan jumlah produksi yang maksimal.

Harga jual garam yang tidak stabil pada setiap tahunnya menjadi problem mendasar bagi petani garam. Pergerakan harga garam yang naik turun berpengaruh pada semangat petani garam dalam proses produksi. Produksi garam yang bersifat musiman ditambah tidak stabilnya harga garam memunculkan masalah baru berupa sulitnya regenerasi bagi kaum muda untuk terjun menjadi petani garam. Alih-alih menjadi petani garam, mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik yang memiliki gaji stabil. Kasus semacam ini bukan hanya terjadi di Desa Dasun, tapi juga hampir di setiap daerah.

Pembuatan garam rakyat Desa Dasun masih menggunakan teknik tradisional. Mereka mengambil air laut lalu dilakukan penguapan alami dengan sinar matahari (solar evaporation). Proses itu dimulai dari penanganan pemasukan air laut hingga pemanenan garam. Beriringan dengan hadir dan digunakannya teknik pembuatan garam semi modern, petani garam tradisional Desa Dasun masih tetap bertahan. Mereka memproduksi garam dengan teknik tersebut di atas tambak miliknya sendiri yaitu tambak garam warisan dari generasi sebelum mereka.

Sebagai bagian dari warisan sejarah petani garam di Desa Dasun, teknik pembuatan garam secara tradisional ini masih digunakan hingga sekarang. Dipandang dari pendekatan budaya, ia berfungsi sebagai memori budaya yang setia menjaga ketahanan sistem mata pencaharian petani garam. Cara produksi pembuatan garam yang ramah ini telah menjadi ruang pewarisan pengetahuan dari generasi ke generasi.

*) Angga Hermansah, Warga Desa Dasun sekaligus Penulis Buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun

tulisan adalah makalah yang disampaikan dalam sarasehan Bancaan Rupa, Sabtu 18 November 2023 di Gedung Serba Guna Dasun pukul 09.00 WIB

foto: proses pembuatan lukisan raksasa yang digagas oleh eggy yunaedi bersama pemulia garam desa dasun berjudul "Ambengan" Bancaan Rupa, jepretan ragil kuswanto

Sumber artikel: https://dasun-rembang.desa.id/artikel/2023/11/17/garam-warisan-pengetahuan-dari-masa-ke-masa

Foto MPI dalam https://img.inews.co.id/media/822/files/inews_new/2023/09/06/ade_darmawan.jpg
Oleh: Angga Hermansah* 

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kata “pemajuan kebudayaan” sendiri jarang bahkan minim terdengar oleh telinga masyarakat, lebih khusus masyarakat desa. Baru nama pemajuan kebudayaan mulai muncul dibicarakan di publik ketika Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi meluncurkan program Pemajuan Kebudayaan Desa pada awal tahun 2021. Sebelumnya mulai tahun 2017 sejak disahkan  sampai tahun 2020 pemajuan kebudayaan belum begitu dikenal apalagi mampu bergaung untuk mengimbangi pemberitaan nasional lainnya.

Pada pelaksanaan Program Pemajuan Kebudayaan terdapat kurang lebih 360-an yang terpilih menjadi desa pemajuan kebudayaan tahun 2021 dan berkurang menjadi 230 desa pada tahun 2022 & 2023. Untuk mempermudah pendampingan terhadap desa-desa, pada tahun 2021 Direktorat Kebudayaan melalui Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Budaya membentuk pendamping kebudayaan desa (Daya Desa) yang berperan sebagai pendamping / fasilitator / penghubung informasi terhadap desa penerima program. Dan saya termasuk bagian dari itu, menjadi Daya Desa tepatnya Daya Desa Dasun kecamatan Lasem kabupaten Rembang. 

Tahun 2021, tepatnya bulan November ratusan desa penerima program menggelar kegiatan pemanfaatan secara serentak. Mulai dari festival, pasar budaya, workshop, ritual, dan berbagai ragam pentas budaya desa lainnya yang dipilih oleh masyarakat desa untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Saat itu, mengingat masih dalam masa transisi pandemi, namun berhasil menyelenggarakan kegiatan kebudayaan di seluruh daerah Indonesia. Namun sayang, dari satu televisi nasional pun tidak melirik atau tertarik untuk menayangkan pemberitaan pemajuan kebudayaan yang jelas-jelas sebagai bentuk transformasi budaya dalam menghadapi percepatan pertumbuhan ekonomi dan teknologi negara-negara dunia. Lantas, apakah ada tahapan yang terlewat, sampai-sampai indikatornya ada yang tidak tercapai. Bukankah dalam era budaya layar, pentas budaya desa adalah sebuah hal yang layak menjadi trending topik dalam layar kaca?

Selanjutnya, tahun 2022 desa-desa penerima program berkurang secara drastis yang awalnya 360-an desa hanya tersisa 230 saja. Hal tersebut menandakan telah dilakukannya evaluasi terhadap program yang berjalan di tahun sebelumnya. Dan saya kira ada hal-hal baru yang ditawarkan pada tahun ini. Menjajaki tahun kedua, setiap desa membuat rencana jangka panjang mengenai pengembangan dan proses pemanfaatan budaya yang nantinya akan menjadi pedoman bagi desa dan mampu menjadi daya (kekuatan) bagi desa dalam bidang kebudayaan. Saya kira akan seperti tahun sebelumnya setiap desa akan melaksanakan kegiatan pemanfaatan dengan kualitas dan skala kegiatan yang lebih besar agar mampu menggaung dalam ruang komunikasi publik sosial budaya di masyarakat. Ternyata dugaan saya salah, hanya desa-desa terpilih atau yang dipilih yang diberi sokongan dalam menyelenggarakan kegiatan pemanfaatan. Dengan situasi tersebut muncul sebuah pertanyaan, apakah tahun ini gaung pemajuan kebudayaan akan sampai di penjuru Indonesia? Ternyata sama, tidak lebih baik dari tahun sebelumnya.

Harapan baru muncul pada tahun 2023 ini, desa mendapat angin segar. Tahun ini ada kegiatan pemanfaatan yang terbagi dalam beberapa kategori antara lain ; festival, pasar budaya, pembuatan buku, film/video dokumenter, revitalisasi sanggar, pembuatan website, sekolah budaya, perpustakaan, desain produk, travel pattern,dan workshop. Setiap desa berlomba-lomba menyusun konsep kegiatan, susunan kepanitiaan dan juga rencana anggaran biaya yang nantinya diusulkan kepada Direktur Kebudayaan melalui Daya Desa. Waktu selalu berputar, sudah mulai tahap revisi dan pematangan konsep kegiatan, dan ada juga desa-desa yang sudah menghubungi berbagai stakeholder serta penetapan kepanitiaan. Namun apa yang terjadi, tak ada angin tak ada hujan, kegiatan pemanfaatan yang seharusnya diterima oleh 230 desa diputuskan hanya sebanyak 33 desa dengan kategori yang telah ditentukan. Dan desa lainnya yang belum mendapatkan kesempatan pemanfaatan dialihkan untuk difasilitasi pembuatan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD).

Dari informasi yang saya terima, alasan mendasar terjadinya perubahan ini dilatarbelakangi evaluasi yang telat, yang dilakukan oleh Tim Pelaksana. Bukan berniat memojokkan satu pihak, karena keterlambatan evaluasi tersebut membuat kekecewaan ratusan masyarakat desa yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga di sela-sela aktivitas kesehariannya untuk berkontribusi dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan. Walaupun benar hasil evaluasi yang dilakukan menunjukkan gaung pemajuan kebudayaan selama ini belum menggema, serta komunikasi publik yang dingin dari setiap kegiatan desa untuk mengangkat pemajuan kebudayaan pada masyarakat yang lebih luas. Ditambah cenderung rampingnya jumlah penerima dana pemanfaatan, dan digemukkannya anggaran tiap desa yang menerima, apakah menjamin gaung pemajuan kebudayaan akan berlayar di seluruh wilayah Indonesia? Atau bahkan “mlempem” dan sama seperti dua tahun sebelumnya? Padahal program sudah di ujung jalan. 

Harapan pun berlabuh dalam kegiatan kongres kebudayaan. Dalam benak saya, masalah tipisnya gaung pemajuan kebudayaan di tingkat desa ini diangkat dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang berlangsung selama 23-27 Oktober 2023. Namun sayang, dalam kongres yang memaklumatkan kebudayaan sebagai daya transformasi keIndonesiaan ini, diskursus tentang gaung pemajuan kebudayaan masih jauh api dari panggang. Masyarakat desa tidak menggubris berlangsungnya kongres kebudayaan. Bahkan sepuluh maklumat yang dihasilkan dalam kongres kebudayaan, seakan tidak direspon. Deretan maklumat yang membela keragaman sosial budaya yang diyakini mampu membela pemajuan bangsa, perhatiannya publik kalah jauh dengan menanti deretan maklumat pengadilan memutus umur penguasa. 

Menengok hasil Kongres Kebudayaan Indonesia pada poin pertama dan kedua.

“Kebudayaan sebagai daya utama dalam transformasi ke-Indonesiaan merupakan hasil kesepakatan yang terus menerus berproses untuk mengolah dan mengembangkan keanekaragaman dan kekayaan hayati dan budaya dalam mengurangi perubahan global multi-dimensi”

“2024-2029 merupakan babak penting dalam meletakkan pemajuan kebudayaan sebagai dasar publik, dan sekaligus panduan transformasi ekonomi, sosial dan ekologi, melalui tata kelola yang sehat , dan kerja para pelaku  dan pandu-pandu budaya pada berbagai bidang , tingkatan dan sektor. Visi Indonesia 2045 mempersyaratkan terbentuknya pandu-pandu yang berbudi-daya dan berdaya-budi pada babak ini”

Melihat dari dua poin diatas terlihat bahwa kebudayan akan menjadi bahan baku transformasi di berbagai lini yang sebelumnya sudah ditopang oleh gerakan pemajuan kebudayaan. Transformasi bisa terjadi jika terdapat tiga faktor pendukung yaitu kebijakan, partisipasi masyarakat, dan kebutuhan/pasar. Padahal jika ditarik kebelakang pada program pemajuan kebudayaan, masih banyaknya masalah-masalah yang terjadi di tingkat desa khususnya tidak terjalinnya komunikasi yang intens antar daya desa dan pihak desa serta minimnya kontribusi anggaran dari desa terhadap program. Mungkin hanya sekian desa yang dengan senang hati dan antusias menggelontorkan dana desanya untuk pengembangan potensi budaya melalui pemajuan kebudayaan. Saya sendiri mulai ragu, kebudayaan menjadi daya transformasi keIndonesiaan,  akan berjalan mulus. 

Terlebih, kalau dilihat kasat mata, memang banyak desa-desa yang menggelontorkan anggarannya untuk event kebudayaan. Namun kalau dianalisis lebih dalam lagi kegiatan /event yang dilaksanakan memang sudah berlangsung sejak lama sebelum adanya program pemajuan kebudayaan diluncurkan. Dan kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi yang dilaksanakan setiap tahunnya. Ditambah lagi, kata pemajuan kebudayaan tidak muncul ataupun menggaung dalam kegiatan-kegiatan di desa. Bahkan, keberadaan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD) yang diharapkan menjadi acuan pembangunan desa dalam bidang kebudayaan, pemajuan kebudayaan akan mengakar kuat di ruang interaksi masyarakat ataukah sebaliknya, dokumen tersebut hanya menjadi produk formalitas saja di penghujung jalan saja. Apalagi, melihat masalah internal di tingkat desa yang belum selesai, dimana sedikit sekali adanya dukungan Kepala Desa terhadap Daya Desa dalam hal kontribusi anggaran .

Memperbincangkan kebudayaan menjadi daya transformasi keIndonesiaan memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Firasat saya, jangan-jangan, program pemajuan kebudayaan belum mampu merebut ruang rindu dari masyarakat. Jangan-jangan, mental nerabas itu masih bersemayam dalam diri orang-orang yang mengaku masyarakat berbudaya. Sebagai autokritik diri saya dan teman-teman Daya Desa lainnya, jangan-jangan pendekatan kita selama ini hanya mengutamakan budaya layar saja. 

Mari bersama-sama saling memancarkan peran maju bersama kebudayaan kita. Tetap jeli dan tidak salah langkah dalam menjadikan budaya menjadi daya utama transformasi sosial dan ekonomi. Nilai-nilai pemajuan kebudayaan memang sudah tepat untuk menghidupi keberlangsung kebudayaan. Dan tak lupa strategi dan tahapan  perlu diperhatikan karena itu sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. 

* Penulis adalah Daya Desa dan Penulis Buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun
Berkas Foto: Foto milik MPI dalam https://img.inews.co.id/media/822/files/inews_new/2023/09/06/ade_darmawan.jpg


Contact Me

Contact With Me

Sejak awal berdirinya Dasun Heritage Society (DHS), Desa Dasun memiliki beragam kegiatan kreatif dalam melestarikan potensi alam dan budayanya. Mulai dari pendataan potensi, pembuatan film dokumenter, peningkatan literasi melalui perpustakaan, dukungan kegiatan kebudayaan, sampai penyusunan buku. Dasun Heritage Society (DHS) selalu menjadi yang terdepan mengidentifikasi, mengenalkan dan melestarikan warisan Desa Dasun.

  • Desa Dasun, RT 03/RW 01, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang
  • +62 895-4124-99678
  • pusakabaharidasun@gmail.com
  • https://pusakadasun.blogspot.com/